Tananua Flores Gelar Festival Pangan Lokal “Tedo Tembu Wesa Wela, Gaga Bo.O Kewi Ae”

Beranda Berita Desa Feature

Detuwulu, Tananua Flores.|Dalam rangka memperingati hari raya pangan sedunia Yayasan Tananua Flores bersama dengan masyarakat desa dampingan pada program livelihood Menggelar festival pangan Lokal yang berlangsung selama dua hari.

Kegiatan Festival itu  dilaksanakan di Detuwulu, Kecamatan Maurole Pada Tanggal 15 – 16 Oktober 2023.

Tananua dan Desa dampingan Gelar Festival Pangan Lokal ini merupakan bagian dari upaya peningkatan kesadaran dan apresiasi terhadap keberkelanjutan makanan lokal serta manfaat dari pangan lokal untuk Kesehatan Manusia.

Festival pangan lokal ini mengusung tema Tedo Tembu Wesa Wela, Gaga Bo.o Kewi Ae.  Selain itu ada beberapa acara dalam memeriahkan Festival antara lain seperti Talk Show, seminar pangan lokal dan PCH, dan lomba masak makanan pangan lokal yang diikuti oleh warga desa setempat. Dengan tujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya melestarikan kembali keragaman pangan lokal agar tidak punah digilas modernisasi secara global.

Kegiatan Festival tersebut juga diawali dengan misa bersama yang dipimpin oleh Pater Charles Beraf, SVD.

Pater Charles, dalam khotbah mengatakan bahwa dalam hal kegiatan seperti ini Dirinya terinspirasi dari bacaan injil Perjamuan kawin di Kana.

Katanya, apakah umat sekalian mampu menyediakan anggur terbaik hingga akhir pesta?, Maksudnya ialah bahwa segala yang terbaik dari usaha masyarakat terutama berkaitan dengan ketersediaan pangan lokal tetap tersedia hingga kapanpun, sampai menjadi masyarakat yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun terutama berhubungan dengan ketersediaan pangan.

Usai misa bersama dilanjutkan dengan Kegiatan Talk Show untuk mendiskusikan berbagai persoalan masyarakat desa dalam mengembang dan pempertahankan pangan lokal. Acara Talk Show itu dipandu oleh Heribertus Se Manajer Program Yayasan Tananua Flores.

Hery Se, mengawali acara tersebut mengungkapkan bahwa Talk show ini adalah salah satu highlight dari festival  dengan menghadirkan narasumber-narasumber kompeten mewakili berbagai pihak (Tiga Batu Tungku) seperti agama, pemerintah dan tokoh adat.

Manager itu menjelaskan, Talk show ini menjadi platform bagi toko-toko atau narasumber lokal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar keberadaan pangan lokal di tengah masyarakat  kondisi pangan lokal yang kian menghilang kemudian harus dibudidayakan serta didorong untu dilestarikan kembali.

Menyambung dari Penjelasan Manager Program kemudian dipertegas kembali oleh pater Charles Beraf dalam sesi Talkshow dengan mengatakan bahwa “pangan lokal itu waka (gengsi) kita”.

Menurutnya ketika masyarakat merawat, menjaga dan menggunakan pangan lokal sebagai sesuatu yang menjadi identitasnya, secara tidak langsung masyarakat juga sedang  menunjukan dan menjaga wakanya sendiri.

Pater carles yang juga Pembina Tananua itu menegaskan” kita  menggunakan bahan olahan dari luar merupakan salah satu tindakan merusak harga diri kita sendiri, kita menjunjung tinggi nilai dan kebesaran yang bukan bagian dari kita, kita hanya akan merasa berharga ketika kita menggunakan apa yang kita miliki bukan meminjam apa yang orang lain miliki dan mengklaim sebagai milik kita”, tegasnya

Selain itu Toko adat(mosalaki) Detuwulu Petrus Bata,  menjelaskan bahwa dirinya lebih melihat pangan lokal sebagai sumber utama pemberian persembahan kepada leluhur dan Tanawatu. Dalam Refleksinya bahwa saat ini pengembangan pangan lokal sudah mulai pergeseran dengan tanaman komoditi ditengah arus masifnya kebutuhan industri. Sehingga dampaknya adalah ana kalo fai walu (masyarakatnya) kian jauh dari pangan lokal.

Pertama,  mereka tidak memiliki lahan cukup luas dan banyak untuk membudayakan pangan lokal karena lahan-lahan yang sudah ada telah ditanami dengan tanaman umur panjang (komoditi).

Kedua, ada beberapa jenis pangan lokal yang tidak cocok untuk ditanami di wilayah Detuwulu. Ketiga banyaknya anak-anak yang sudah sekolah lebih memilih kerja kantoran ketimbang harus terjun ke kebun dan mengolah hasil kebun di kampung sendiri.

Dengan Alasan-alasan tersebut sebagai Tokoh adat merasa dilematis antara membiarkan ana kalo fai walu berjalan sesuai dengan apa yang mereka kehendaki dan itu berarti melenyapkan nila-nilai budaya yang asli seperti are wati manu eko dari hasil usaha dan keringat sendiri atau memaksa ana kali fai walu kembali membudidayakan keragaman pangan lokal sebagai kekayaan dari masyarakat adat dalam melestarikan nilai luhur budayanya.

Disisi yang lain kata Mosalaki itu saat ini mereka tidak memiliki lahan yang cukup untuk maksud tersebut, tetapi sebagai mosalaki kemudian merasa ditantang dan memutuskan satu kebun pribadi yang telah ditanam dengan tanaman komoditi akan digantikan dengan menanam dan membudidayakan pangan lokal yang sesuai dengan jenis tanah dan tuntutan seremonial adat.

Tokoh adat juga menyinggung terkait dengan peran dari pemerintah tentang pentingnya kebijakan dan langkah-langkah dalam mendukung ketahanan pangan lokal. Pemerintah di tuntun untuk sesekali memberikan kebiasaan, pengalaman dan pengetahuan mereka tentang pangan lokal.  Pemerintah juga harus mempunyai kebijakan khusus terkait dengan pangan lokal. Tutupnya.

Oleh : Mikel, Staf Tananua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *