


Ende, Tananua Flores |Di lereng sejuk Kabupaten Ende, pada Sabtu pagi yang teduh, Sejumlah warga, tokoh adat, perempuan, pemuda, dan akademisi menyatu dalam satu semangat: merawat bumi, memelihara kehidupan. Di tengah krisis iklim global yang semakin mendesak, sebuah gerakan lokal tumbuh dari akar komunitas dengan kerja kolaborasi antara Tananua Flores, Universitas Flores, dan pemerintah desa melakukan aksi konservasi lintas desa.
Gerakan ini bukan sekadar bagian dari perayaan menyongsong 50 tahun Universitas Flores (5/7), melainkan representasi nyata bahwa cinta pada bumi harus dijalankan bersama, melampaui batas institusi dan generasi. Dengan mengusung tema “Merawat Bumi, Memelihara Kehidupan!”, aksi menanam pohon ini menyentuh empat desa di dua kecamatan yakni desa Detubela(140 orang) dan Mautenda Barat (148 orang)di Wewaria, serta desa Mbobhenga (196 orang) dan Malawaru (108 orang) di Nangapanda.
Dari kampus ke ladang, dari ruang kelas ke hutan, lebih dari 14.000 anakan pohon (Muntin, Merbau, Sengon, hingga durian) dibagikan. Sebanyak 2.189 anakan berhasil ditanam pada hari itu, menyebar di 16 titik konservasi strategis, mulai dari sumber mata air, kebun warga, hingga bantaran sungai.
Bagi Universitas Flores, ini bukan sekadar program pengabdian masyarakat. Ini adalah pengejawantahan dari filosofi Kampus Berdampak, di mana ilmu pengetahuan tidak berhenti di bangku kuliah. “Kami tidak hanya ingin mendidik di kelas, tetapi juga belajar bersama masyarakat, ikut membangun masa depan yang lebih lestari,” ujar Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Flores, Lori Gadi Djou, saat melakukan penanaman pohon di desa Detubela
Lori bahkan membayangkan satu desa Detubela menjadi ikon agrowisata lokal, yang dikenal bukan hanya karena konservasi, tetapi juga karena potensi ekonominya. “Bayangkan, kelak orang datang ke Detubela untuk makan durian. Itu bisa terjadi,” ujarnya penuh harap.
Di sisi lain, Tananua Flores memainkan peran vital sebagai jembatan antara kearifan lokal dan strategi ekologi modern. Ketua Pengurus Yayasan, Hironimus Pala, menekankan pentingnya memperkenalkan hutan keluarga sebagai solusi alternatif—memberi akses kayu bagi warga tanpa merusak hutan alam. “Ini adalah bentuk adaptasi terhadap krisis iklim, yang dampaknya paling dulu dirasakan petani di pelosok,” ungkapnya.
Kepemimpinan Ekologis dari Desa
Kesadaran ekologis tidak hanya datang dari kampus atau NGO, tetapi juga dari pemimpin desa. Kepala Desa Detubela, Eustakheus Kota, menjadi contoh kepemimpinan ekologis yang visioner. Ia memahami betul pentingnya menjaga dua mata air utama Lou dan Muru Menge yang tidak hanya menyuplai kebutuhan warganya, tetapi juga desa tetangga seperti Tanali dan Welamosa.
“Menjaga sumber air bukan untuk hari ini saja, tapi untuk anak cucu kita. Kalau kita rusak sekarang, ke depan kita sendiri yang susah,” ujarnya tegas.
Sementara itu kegiatan penanaman pohon juga dilakukan di Desa Malawaru, langkah bijak diambil dengan menunda sebagian penanaman hingga curah hujan mencukupi. Keputusan ini mencerminkan kedewasaan ekologis dan pengelolaan konservasi yang adaptif—bahwa merawat alam juga butuh kesabaran dan perhitungan jangka panjang. Desa Malawaru yang saat ini cuacanya mengalami kekeringan, Namun wujut nyata dalam gerakan ini tetap melakukan proses penanaman.
Salah satu kekuatan utama dari gerakan ini adalah Partisipatif. Tidak hanya para tokoh dan akademisi, tetapi juga perempuan dan pemuda terlibat aktif. Agnes Inemete (52), tokoh perempuan dari Malawaru, menyampaikan rasa syukurnya, “Saya merasa dihargai. Konservasi ini bukan hanya urusan orang penting, tapi juga urusan kami, para ibu.”
Semangat gotong royong yang mengalir dalam kegiatan ini membuktikan bahwa konservasi tidak hanya berbicara soal teknik, melainkan juga tentang ruang partisipasi dan keadilan sosial.
Tantangan ke depan tentu tidak kecil. Menanam hanyalah langkah awal. Pertanyaan krusial kemudian muncul: Siapa yang akan merawat? Bagaimana menjamin keberlanjutan?
Para inisiator sadar bahwa tanpa sistem pemeliharaan, pemantauan, dan dukungan kebijakan yang konsisten, upaya ini bisa kembali menjadi proyek sesaat. Dibutuhkan pelibatan sekolah, kelompok pemuda, tokoh agama, dan pembiayaan yang lebih stabil—tidak hanya menggantung pada hibah.
Tananua dan Universitas Flores tengah merintis jalan itu. Bukan sekadar seremoni tanam pohon, tapi model konservasi sosial-ekologis yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Bila upaya ini bisa dijadikan kebijakan desa atau bahkan replikasi lintas wilayah, maka harapan untuk perubahan sistemik bukanlah angan-angan.
Kolaborasi Bersama
Di tengah ladang, di pinggir hutan, dan di balik jemari tangan-tangan yang kotor oleh tanah basah, harapan itu tumbuh. Gerakan ini bukan milik satu lembaga, bukan milik satu tokoh. Ini milik semua akademisi, petani, ibu rumah tangga, pemuda desa.
Dan seperti pepatah bijak: “Siapa yang menanam, dia yang memetik.” Mungkin kita bukan yang akan menikmati rindangnya pohon ini. Tapi kelak, anak cucu akan berteduh di bawahnya.


Oleh : Tim Media Tananua
Eksplorasi konten lain dari Tananua Flores
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.