
Oleh: Arnoldus Rada Mage (YTNF, Ende, NTT)
Ende, Tananua Flores | Di Desa Ja Mokeasa, Kabupaten Ende, denyut kehidupan petani berpacu dengan perubahan musim yang tak menentu. Langit yang dulu dapat dibaca dengan kearifan lama, kini kerap berubah arah. Namun, dari tanah pegunungan yang subur itu, tumbuh pula semangat baru — semangat inovasi dan daya tahan yang lahir dari kebersamaan, cinta tanah, serta bimbingan Yayasan Tananua Flores (YTNF) dengan dukungan World Neighbors (WN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI).
Di tengah tantangan iklim yang mengguncang, para perempuan desa bangkit dengan tangan mereka sendiri, menanam harapan dalam setiap rumpun sayur, dan memupuk keteguhan hati melalui usaha mikro hortikultura yang ramah lingkungan. Kisah Mama Thresia Ima dan kelompok UBSP menjadi saksi bahwa adaptasi bukan sekadar bertahan, tetapi juga berinovasi. Dengan pupuk organik, pestisida nabati, dan kerja kolektif yang berakar dari kearifan lokal, mereka menumbuhkan ketahanan pangan, memperkuat ekonomi keluarga, dan menyalakan obor inspirasi bagi seluruh komunitas desa.

Jejak Desa di Lereng Bukit
Desa Ja Mokeasa lahir dari rahim Desa Mbotutenda pada tahun 1997 dan menjadi desa definitif pada 15 Oktober 2012. Dari Kota Ende, jaraknya sekitar 28 kilometer, ditempuh dalam satu jam perjalanan melewati jalan berkelok yang menanjak dan menurun. Desa ini berada di ketinggian 727 meter di atas permukaan laut, dikelilingi pegunungan, bukit, dan dataran rendah yang subur — tanah yang cocok bagi segala jenis tanaman, terutama hortikultura.
Namun, perubahan iklim membuat para petani seolah kehilangan kompas. Hujan turun tak menentu, matahari menyengat di waktu yang tak biasa. Dari kegelisahan itu, tumbuh kesadaran baru: bahwa alam tidak bisa dilawan, tetapi bisa diajak berdamai. Petani belajar membaca tanda-tanda, menyesuaikan waktu tanam, dan memilih jenis tanaman yang sesuai dengan perubahan cuaca.
Pendampingan yang Menumbuhkan Harapan
Program pendampingan dari Yayasan Tananua Flores bersama World Neighbors dan KLHK RI menumbuhkan daya tahan baru di enam desa sasaran. Di Ja Mokeasa, terbentuklah Kelompok UBSP pada 1 Maret 2023, beranggotakan 21 orang — satu laki-laki dan dua puluh perempuan. Modal awal kelompok sebesar Rp 4.615.000, hasil dari simpanan pokok, wajib, dan sukarela anggota. Dana ini diputar kembali untuk usaha mikro dan kebutuhan keluarga, terutama untuk pengembangan kebun sayur.
Desa di ketinggian ini memang anugerah bagi pertanian. Dari lahan yang sejuk itu tumbuh terung, buncis, sawi, kangkung, dan cabai. Dalam satu musim tanam yang singkat, hasil panen bisa mendatangkan keuntungan hingga setengah juta rupiah, dan untuk tanaman tahunan seperti cabai dan terung, bisa mencapai satu juta rupiah. Sebagian hasil dijual, sebagian lagi dibagikan dan dikonsumsi bersama tetangga — menanam bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk berbagi.
Perempuan-perempuan Penanam Harapan

Dua nama mencuat dari kelompok UBSP: Mama Thresia Ima (Mama Tres) dan Mama Yasinta Leta (Mama Ayu). Mereka bukan sekadar petani, melainkan penabur semangat bagi yang lain. Mama Tres memandang perubahan iklim bukan sebagai ancaman, tetapi tantangan untuk berinovasi. Ia mengolah sisa tanaman dan kotoran ternak menjadi pupuk organik, meramu daun pepaya dan daun kerinyu menjadi pestisida alami. Dari kebun kecilnya, tumbuh sayuran subur yang tak hanya memberi hasil, tapi juga menjaga keseimbangan bumi.
“Dulu kami belajar dari alam, kini kami kembali berdamai dengannya,” tutur Mama Tres.
Usahanya membuahkan hasil nyata. Dari lahan yang sederhana, ia meraih pendapatan hingga Rp 3.600.000 per musim tanam. Sawi, kangkung, dan buncisnya laku di Pasar Wolowona dan desa tetangga, Raburia. Hasil panen bukan hanya untuk dijual, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, agar meja makan selalu terisi sayuran sehat tanpa bahan kimia.
Pupuk dari Alam, Panen dari Hati
Bagi Mama Tres, pupuk bukanlah benda yang dibeli, melainkan hasil dari kreativitas. Ia mencampur dedaunan dan air beras, memfermentasikannya tiga hari hingga berubah menjadi cairan subur. Ia percaya, kesuburan tanah adalah kesuburan kehidupan. Dengan alat seadanya, ia menyiapkan bedengan, menggemburkan tanah, dan menanam benih dengan penuh cinta.
“Tanah harus kita rawat seperti tubuh kita sendiri,” katanya lembut sambil tersenyum.
Dari kebun itu pula, Mama Tres membiayai kebutuhan keluarga. Ia bahkan menyiapkan acara sambut baru anaknya tanpa harus berutang, hasil dari panen sayur yang ia kelola sendiri. Dari sawi dan kangkung ia peroleh Rp 1.500.000, dari terung Rp 2.500.000, dan dari buncis Rp 1.200.000. “Itu hasil nyata,” ujarnya bangga, “meski sering saya beri bonus bagi yang membeli langsung di kebun.”


Menanam untuk Desa, Bukan Sekadar untuk Diri
Walau tidak semua anggota mampu menjalankan usaha bersama karena kesibukan rumah tangga dan lahan pribadi, semangat individu tetap menyala. Beberapa warga mulai membuka kios sembako dan usaha kecil lainnya. Dari langkah-langkah kecil itu, tumbuh kemandirian baru di tengah perubahan besar.
Mama Tres menutup kisahnya dengan pesan yang sederhana namun dalam maknanya:
“Saya berharap, kita para petani tidak lagi membeli sayur, tapi memproduksinya sendiri. Jangan pikir harus banyak, mulai saja dari yang kecil. Jangan dulu bermimpi menjual ke luar desa — penuhi dulu kebutuhan di dalam desa kita. Bila tanah kita subur, orang luar akan datang mencari hasil dari desa ini.”
Kisah Desa Ja Mokeasa adalah kisah keteguhan dan pembelajaran. Di tengah ketidakpastian iklim, tumbuh kepastian lain: bahwa manusia mampu beradaptasi bila ia mau belajar, berkolaborasi, dan mencintai alamnya. Dari kebun kecil di lereng bukit, lahir harapan besar untuk masa depan yang lestari.
Kunjungi Artikel kami
Eksplorasi konten lain dari Tananua Flores
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
