Mata Kail Untuk Perubahan: Kisah Kelompok Proklim dan Harapan dari Pihak Swasta-Komisi PSE

Beranda Catatan Kita Feature

Oleh : Maria Sisilia Virginia Wawo (YTN F, Ende, NTT)

Kadang, kesuksesan tidak hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang perjalanan dan hubungan yang terjalin di dalamnya. Ini adalah kisah perjumpaan antara kegigihan akar rumput dan sebuah filosofi yang bijak: “Kami tidak memberikan ikan, kami hanya memberikan mata kail”. Pertemuan antara Kelompok ProKlim dan Komisi PSE Keuskupan Agung Ende adalah kisah tentang kesiapan dan harapan besar bahwa dukungan kecil akan menumbuhkan perubahan ekologis yang berkelanjutan.” Pertemuan ini terwujud berkat dampingan dan fasilitasi Yayasan Tananua Flores (YTN F) yang mendampingi ke 6 Kelompok ProKlim di Kabupaten Ende dengan dukungan dari World Neighbors (WN) yang bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI)

Awal Sebuah Perjumpaan

Pertemuan antara Kelompok ProKlim (Program Kampung Iklim) dan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Ende (PSE KAE) menjadi simbol bagaimana kolaborasi kecil dapat menumbuhkan harapan besar bagi perubahan ekologis yang berkelanjutan.
Inisiatif ini lahir dari dampingan Yayasan Tananua Flores (YTNF) dengan dukungan World Neighbors (WN) yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI). Melalui program ini, enam kelompok ProKlim di Kabupaten Ende diarahkan untuk bergerak bersama menghadapi tantangan perubahan iklim.

Mereka bukan orang baru dalam perjuangan merawat bumi. Mereka adalah petani, penjaga tanah dan air yang setiap harinya berhadapan langsung dengan dampak perubahan iklim. Kini, semangat mereka meluas: tidak hanya menanam dan memanen, tapi juga menulis, merancang, dan mengelola perubahan.

Keenam kelompok ProKlim binaan YTNF yang dimaksud adalah:

  • ProKlim Kwasma – Desa Wolomage (42 anggota)
  • ProKlim Daubugu – Desa Wolomage (53 anggota)
  • ProKlim Kompak – Desa Wolotolo (46 anggota)
  • ProKlim Sama Se – Desa Ja Mokeasa (45 anggota)
  • ProKlim Sama Rasa – Desa Wologai Dua (58 anggota)
  • ProKlim Sinar Seko – Desa Wologai (51 anggota)

Seluruh kelompok ini telah mendapatkan SK Kepala Desa. Bersama-sama, mereka memutuskan untuk menyusun proposal bantuan yang diajukan ke Komisi PSE KAE serta beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende.

Tujuan mereka sederhana: ingin mengembangkan usaha pertanian organik, pengelolaan sampah, dan pengolahan kopi pasca panen, demi keberlanjutan ekonomi sekaligus menjaga lingkungan.
Rincian anggaran tiap kelompok pun berbeda, mulai dari Rp 14 juta hingga Rp 23 juta, tergantung kebutuhan program yang diajukan.

Perjalanan Tidak Selalu Mulus

Menulis proposal bukan hal mudah bagi para petani. Di sela-sela rutinitas mengurus kebun dan keluarga, mereka harus belajar menulis, menyusun rencana, dan menghitung biaya.

“Saya belum pernah menulis proposal sebelumnya. Awalnya gugup dan bingung mau mulai dari mana,”
kata Basilius Tiara, salah satu anggota kelompok.
“Tapi saya bersyukur bisa belajar. Ini pengalaman berharga.”

Proses ini menjadi ruang belajar yang penuh tantangan. Tim YTNF dengan sabar mendampingi setiap langkah — dari menggali ide, menyusun kalimat, hingga memfinalisasi proposal. Setelah melalui revisi demi revisi dan berbagai kendala seperti kesibukan dan situasi keluarga, akhirnya proposal berhasil diserahkan ke meja Komisi PSE KAE dan instansi pemerintah daerah.

Dari Kantor ke Hati: Sambutan Hangat dari Gereja

Hari itu, senyum lelah berubah menjadi semangat baru ketika perwakilan kelompok diterima langsung oleh RD. Renald, Ketua Komisi PSE KAE.
Romo Renald menyambut mereka dengan tangan terbuka. Ia membaca dan mengoreksi proposal satu per satu bersama timnya, sambil memberikan masukan dengan penuh kesabaran.

“Proposal ini sejalan dengan visi kami tahun ini — Hak atas pangan untuk kehidupan dan masa depan yang lebih baik,” ujar Romo Renald.
Ia menegaskan bahwa bantuan PSE bukan untuk membuat kelompok bergantung, tetapi mendorong kemandirian dan keberlanjutan.
“Kami tidak memberikan ikan, kami memberikan mata kail. Kelompok harus belajar mengelola sumber daya sendiri. Keberlanjutan adalah kunci,” tambahnya.

Bagi para petani, ucapan itu bukan hanya nasihat, tapi pengakuan atas kerja keras mereka. Mereka merasa dilihat, didengar, dan diberi harapan.

Mengetuk Banyak Pintu

Tak berhenti di Komisi PSE, kelompok ProKlim juga menjalin komunikasi dengan berbagai dinas di Kabupaten Ende. Meski sebagian besar menyampaikan keterbatasan anggaran akibat kebijakan efisiensi dari pusat, sikap terbuka dan transparan dari instansi pemerintah menjadi bentuk dukungan moral yang berarti.

Kini, mereka menantikan hasil sidang Komisi PSE KAE pada November 2025. Namun bagi kelompok, keputusan akhir bukan lagi segalanya. Mereka sudah memperoleh sesuatu yang jauh lebih berharga — keberanian, pengetahuan, dan keyakinan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil.

Perjalanan kelompok ProKlim ini membuktikan bahwa perubahan tidak datang dari bantuan besar, melainkan dari semangat belajar dan kolaborasi. Dari desa-desa kecil di Ende, lahir kisah besar tentang harapan dan ketekunan.

Kini, “mata kail” itu sudah mereka genggam.
Dan di tangan para petani itu, masa depan bumi dan pangan lokal pelan-pelan mulai dijaring — dengan doa, kerja keras, dan keyakinan bahwa setiap tetes keringat akan tumbuh menjadi buah perubahan.

Kunjungi Artikel Kami


Eksplorasi konten lain dari Tananua Flores

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan