Tiga Hari yang Menginspirasi di Wologai Dua: Menemukan Arti Pendampingan

Penulis : Maria Sisilia Virginia Wawo/ Staf YTNF

Ende Wologai Dua, —Tananua Flores | Tiga hari di Desa Wologai Dua menjadi perjalanan yang tak hanya mengubah cara pandang saya tentang pendampingan, tetapi juga menyalakan kembali semangat untuk bekerja dengan hati. Yayasan Tananua Flores (YTNF) menggelar Pertemuan Semesteral Petani pada tanggal 2–4 Oktober 2025, mempertemukan masyarakat tani dari 14 desa dampingan Program Peningkatan Hak Alam dan Hak Masyarakat (PHAM).

Bagi saya, ini adalah pengalaman pertama mengikuti kegiatan lapangan seperti ini. Sebelumnya, saya lebih akrab dengan data dan laporan di balik meja. Namun tiga hari di Wologai Dua menghadirkan babak baru dalam perjalanan saya bersama YTNF.

Sambutan Hangat di Tanah Adat

Kedatangan tim YTNF dan peserta dari tiga belas desa disambut hangat oleh tokoh adat dan masyarakat Wologai Dua. Tarian dan alunan gong gendang “Nggo Wani” khas Ende mengiringi langkah kami menuju panggung acara.
Suasana sakral terasa ketika seorang tetua adat menyambut kami dalam bahasa daerah yang penuh wibawa — bukan sekadar formalitas, melainkan tanda pengakuan dan penerimaan.

Kegiatan resmi dibuka oleh Kepala Desa Wologai Dua, disaksikan oleh Direktur YTNF, seluruh staf, Kepala Desa Jeo Dua, serta perwakilan pengurus LPHAM (Lembaga Perlindungan Hak Alam dan Hak Masyarakat), kelompok tani, dan para penghubung desa.
Tujuan utama pertemuan ini: mengevaluasi perjalanan enam bulan program dan merancang keberlanjutan — dengan fokus pada organisasi LPHAM, konservasi lingkungan (ulu ola), pertanian organik, kesehatan, dan ketahanan ekonomi masyarakat.

Pertemuan yang Penuh Kehangatan

Suasana di balai desa Mbani, ibu kota Desa Wologai Dua, terasa hidup. Tawa, semangat, dan juga keheningan reflektif bergantian mengisi ruangan.
Para peserta datang bukan dengan tangan kosong: mereka membawa hasil bumi — ubi, jagung, sayur, benih sorgum, pala, dan entres kakao.
Inilah simbol kedaulatan pangan dan semangat berbagi antar desa.

“Saya pikir evaluasi akan tegang,” gumam saya dalam hati. Namun ternyata, pertemuan ini lebih mirip ruang bicara dari hati ke hati.
“Kami datang untuk mencari solusi atas masalah di desa kami, juga untuk berbagi jika ada kelebihan,” ucap Bapak Darius Deki, Ketua LPHAM Desa Tenda.

Momen itu terasa dalam: setiap kisah yang dibagikan mengandung perjuangan, kegagalan, keberhasilan, dan keberanian menjaga hak-hak mereka sebagai penjaga alam.
“Dulu saya tak berani berbicara di depan banyak orang,” ujar Bapak Aurelius Ratu, penghubung Desa Tiwusora, “tapi sejak bergabung dengan kelompok, saya belajar dan kini saya bisa.”

Saya mulai memahami: pendampingan bukan tentang memberi jawaban, melainkan menemani masyarakat menemukan kekuatannya sendiri.

Menapak Jejak di Dusun Boro

Hari kedua, peserta dibagi dalam beberapa kelompok kecil untuk melakukan kunjungan ke tiga dusun: Mbani, Boro, dan Nuamue.
Saya bergabung dengan kelompok yang menuju Dusun Boro, berjarak sekitar tiga kilometer dari pusat desa.
Kunjungan ini bertujuan memperdalam diskusi mengenai lingkungan, konservasi mata air, dan ketahanan pangan.

Sambutan warga Boro begitu hangat. Kami mendengarkan kisah Bapak Tomas Teke, tokoh adat setempat, tentang kearifan lokal yang masih dijaga dengan teguh.
Ia menceritakan bagaimana setiap siklus pertanian terhubung dengan nilai adat — mulai dari pembakaran kebun, penanaman padi, hingga upacara panen “Mi Are” yang sarat makna.
“Inilah cara kami menjaga waka nga topo wolo tana watu — warisan leluhur yang harus kami titipkan pada generasi berikutnya,” ujarnya dengan nada tegas dan penuh kebanggaan.

Petani sebagai Guru

Yang paling mengesankan, para petani menjadi narasumber utama.
Bapak Nikolaus De Ja dari Desa Tonggopapa memimpin sesi berbagi tentang budidaya pala.
“Berjuang di kebun itu tak mudah, tapi pala adalah pohon bernilai ratusan tahun. Ia memberi keberlanjutan bagi keluarga,” katanya.

Setelah sesi diskusi, kami bergerak menuju mata air Ratendare. Di sana, masyarakat bersama tim YTNF menanam bibit pohon pelindung.
“Mata air ini bukan milik satu orang, tapi milik bersama — milik alam dan generasi mendatang,” ujar Bapak Don, tokoh adat Boro.

Tak berhenti di situ, kami melanjutkan aksi nyata dengan praktik P3S Kakao (pemangkasan, pemupukan, panen sering, dan sanitasi) serta pembuatan rorak, lubang fermentasi dedaunan hasil pemangkasan untuk konservasi lahan.
Saya tersadar: keberlanjutan bukan sekadar teori, melainkan sinergi antara nilai adat, inovasi pertanian, dan kerja bersama menjaga alam.

Menutup dengan Syukur dan Tawa

Tanggal 4 Oktober, seluruh peserta kembali ke balai desa untuk mempresentasikan hasil kunjungan, temuan, dan ide-ide baru.
Evaluasi berubah menjadi ruang berbagi penuh inspirasi. Kepala Desa Wologai Dua menutup kegiatan dengan pesan hangat dan ucapan terima kasih.

Namun suasana belum berakhir.
“Jangan pulang dulu, belum seru tanpa joget perpisahan,” ujar Bapak Valentinus Doa, tokoh penting desa.
Kami tertawa, lalu menuruti ajakan itu. Malam itu, di bawah langit Wologai Dua, staf, petani, orang tua, dan anak muda menari bersama. Musik, tawa, dan persaudaraan menjadi penutup yang sempurna.

Kami pulang keesokan harinya — bukan hanya membawa catatan evaluasi, tapi membawa keyakinan baru: bahwa pembangunan berkelanjutan lahir dari hati yang gembira dan jiwa yang bersatu.

Refleksi: Pendampingan yang Menghidupkan

Pekerjaan pendampingan adalah jembatan antara kearifan masa lalu dan harapan masa depan.
Meski saya bukan pendamping lapangan, pengalaman tiga hari ini memberi kesan mendalam: pendampingan bukan sekadar laporan atau data, tetapi tentang menumbuhkan kader, ilmu, dan harapan di antara para petani.

Kini, meskipun saya kembali bekerja di belakang meja, semangat itu tetap menyala.
Saya siap melanjutkan peran kecil saya, dengan hati yang lebih peka dan mata yang telah melihat: bahwa perubahan besar sering dimulai dari langkah-langkah sederhana — dari desa yang bernama Wologai Dua.

Sampai jumpa di pertemuan semesteral berikutnya. Tujuan selanjutnya: Desa Jeo Dua.

Tiga Hari yang Menginspirasi di Wologai Dua: Menemukan Arti Pendampingan Read More »

Belajar Pertanian Organik di Tou Barat: Tantangan dan Solusi

Ende, Kota Baru – Tananua Flores. Desa Tou Barat, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende, menjadi tuan rumah kegiatan kunjungan belajar pertanian organik dan cerdas iklim pada 21–22 Agustus 2025. Dengan mengusung tema “Berbagi Itu Asik dan Lestari Sambil Bermesraan dengan Alam”, kegiatan ini menghadirkan pengalaman belajar langsung bagi para petani setempat.

Dari sharing pembelajaran dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warga Tou Barat menggantungkan hidup pada kebun kakao, tanaman pangan, dan hortikultura. Lahan mereka masih subur, namun mulai terancam akibat praktik pertanian intensif pada masa lalu. Kegiatan ini dinilai relevan untuk membangun kesadaran baru tentang cara bertani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Kepala Desa Tou Barat, Frans Seda, dalam sambutannya menekankan pentingnya peran petani.

“Pejabat bisa berganti, tapi petani selalu hadir memastikan ketersediaan pangan bagi seluruh umat manusia,” ujarnya.

Menurutnya, profesi petani merupakan panggilan hidup yang mulia dan perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Tantangan Perubahan Iklim

Manajer Program Tananua Flores, Heribertus Se, menyoroti persoalan perubahan iklim yang semakin nyata. Ia menyebut ketidakpastian musim, kekeringan, banjir, dan serangan hama sebagai tantangan besar yang dihadapi petani saat ini.

“Pertanian cerdas iklim bukan pilihan, melainkan keharusan. Desa Tou Barat punya kekuatan khas. Dengan belajar bersama, kita bisa melahirkan inovasi yang relevan bagi masa depan,” jelasnya.

Heribertus juga mendorong keberanian petani untuk saling berbagi pengalaman. Menurutnya, berbagi merupakan jalan menuju kekuatan bersama dalam menghadapi tantangan pertanian.

Kegiatan belajar pertanian organik di isi dengan materi-materi ini yang merupakan kehidupan dunia pertanian antara teori, Praktik dan juga refleksi pengalaman dari masing-masing individu. Dalam Sesi inti ini dibawakan oleh Benyamin, praktisi pertanian organik. Ia memaparkan lima strategi penting:

  1. Menggunakan varietas unggul tahan iklim ekstrim.
  2. Melakukan pemupukan berimbang dengan pupuk organik.
  3. Mengelola sumber daya air secara bijak.
  4. Mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia dengan ramuan alami.
  5. Melakukan diversifikasi tanaman untuk menjaga ketahanan ekonomi keluarga.

Peserta menilai materi tersebut tidak hanya sebatas teori, tetapi langsung menyentuh realitas kehidupan mereka sehari-hari.

Jaga Tanah Leluhur

Di akhir kegiatan, Heribertus mengingatkan pentingnya menjaga tanah dan air dari ancaman proyek besar yang merusak lingkungan.

“Tuhan titipkan tanah ini untuk dikelola dengan baik. Mari kita jaga tanah leluhur dari proyek multinasional yang merusak lingkungan,” katanya.

Kepala Desa Frans Seda menambahkan pesan kuat kepada masyarakatnya.

“Orang luar saja mau belajar di desa ini. Masa kita, masyarakat sendiri, menyia-nyiakan pengetahuan yang kita miliki? Mari kita kembangkan, demi anak cucu, demi tanah leluhur kita, demi bangsa,” tegasnya.

Kunjungan belajar di Tou Barat bukan sekadar pertemuan singkat, melainkan proses membangun kesadaran bersama. Kegiatan ini menekankan bahwa perubahan dapat dimulai dari langkah kecil: menanam pohon, merawat tanah, berbagi pengalaman, dan mencintai kebun. Tou Barat kini memiliki cerita baru. Dari desa kecil dengan infrastruktur terbatas, ia tumbuh menjadi ruang pembelajaran bagi banyak orang. Dari petani sederhana, lahir guru kehidupan yang menyalakan harapan untuk masa depan pertanian yang lebih hijau, adil, dan lestari.

Ditulis : HS

Belajar Pertanian Organik di Tou Barat: Tantangan dan Solusi Read More »

Refleksi dan Komitmen Baru: Tananua Flores Menyusun Langkah Perbaikan untuk Pendampingan yang Lebih Baik

Ende, 15 Juli 2025 — Dalam semangat meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program, Yayasan Tananua Flores kembali menunjukkan komitmennya dalam mendampingi petani dan nelayan melalui evaluasi semestral yang dilaksanakan secara daring pada Selasa (15/07). Kegiatan ini diikuti oleh staf Livelihood Sustainable, Kelautan dan Perikanan, serta manajemen yayasan, berlangsung intens selama dua jam (10.00–12.00 WITA).

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan pertemuan semestral petani dan nelayan yang berlangsung di Desa Malawaru, Kecamatan Nangapenda, pada 24–27 Juni 2025 lalu. Evaluasi ini tidak sekadar menjadi momen refleksi, namun juga menjadi ruang strategis untuk menyusun Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) demi pendampingan yang lebih baik ke depan.

“Kegiatan ini penting untuk melihat apa saja yang sudah baik, apa yang perlu diperbaiki, dan apa pembelajaran menarik yang bisa menjadi bekal bagi kegiatan berikutnya,” ujar Pius Sai Jodho, Koordinator Program Perikanan Tananua Flores.

Catatan Kritis: Menemukan Ruang Perbaikan

Berbagai catatan penting muncul dari hasil refleksi bersama, antara lain:

  • Koordinasi Internal perlu diperkuat untuk mematangkan persiapan kegiatan di masa mendatang.
  • Materi Pertemuan dinilai perlu disesuaikan agar pembahasan isu pertanian dan perikanan lebih fokus, melalui pembagian kelas tematik.
  • Durasi Waktu yang sempit membuat beberapa sesi terasa terburu-buru. Usulan penambahan menjadi tiga hari efektif dinilai lebih ideal.
  • Peran Panitia harus diperjelas sejak awal antara tim lokal dan manajemen.
  • Dokumentasi dan Kehadiran masih perlu pembenahan agar lebih efisien dan tidak mengganggu kenyamanan peserta.
  • Kontribusi Peserta dari 13 desa berupa beras, ikan, kopi, gula, hingga uang tunai perlu dianalisis kembali dampaknya terhadap efektivitas kegiatan.
  • Fasilitator dan Tim Media diharapkan meningkatkan kesiapan, termasuk penguatan alat dokumentasi audio yang lebih andal.

Pembelajaran Positif yang Menginspirasi

Namun bukan hanya tantangan yang ditemukan. Banyak pembelajaran bermakna yang tercatat, seperti:

  • Terjadi transfer pengetahuan yang kuat antar petani dan nelayan.
  • Narasumber yang hadir sangat relevan dengan dinamika lokal hingga global.
  • Kehadiran peserta dari 13 desa membawa semangat solidaritas dan pertukaran pengalaman.
  • Keterlibatan anak muda menjadi energi baru dalam kegiatan lapangan.
  • Terobosan media seperti keikutsertaan peserta secara daring mendapat apresiasi tinggi.

Langkah Nyata: Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL)

Sebagai bentuk komitmen, Tananua Flores telah menyusun sejumlah langkah strategis pasca-evaluasi:

  1. Menerbitkan newsletter berisi materi dan hasil kegiatan untuk seluruh desa dampingan.
  2. Memperbaiki sistem notulensi agar lebih akurat dan layak dipublikasikan.
  3. Mendokumentasikan tindak lanjut peserta, seperti teknik budidaya hingga pengelolaan sampah.
  4. Mempersiapkan materi baru seperti pengolahan pangan lokal, latihan GPS, hingga pengelolaan sampah plastik.
  5. Pengadaan alat perekam audio berkualitas untuk kebutuhan dokumentasi kegiatan.
  6. Pelatihan peningkatan kapasitas staf, sebelum dan sesudah kegiatan.

“Pertemuan ini menjadi cermin bagi kita semua, bukan hanya untuk mengevaluasi tetapi juga menegaskan komitmen kita dalam mendampingi petani dan nelayan. Mari kita perbaiki langkah dan terus belajar bersama masyarakat,” tegas Heri Se, Manajer Program Tananua Flores.

Jaga Waka Desa: Semangat yang Terus Menyala

Melalui evaluasi yang penuh makna ini, Tananua Flores menegaskan kembali semangat “Jaga Waka Desa”—merawat kehidupan dan keberlanjutan desa melalui kerja bersama yang partisipatif dan reflektif.

Dengan semangat kolaborasi, transparansi, dan pembelajaran terus-menerus, Tananua Flores terus melangkah untuk menghadirkan dampak nyata bagi masyarakat dampingan. Karena setiap perbaikan kecil yang dilakukan hari ini, adalah fondasi bagi masa depan yang lebih baik. *** Tim Media

Refleksi dan Komitmen Baru: Tananua Flores Menyusun Langkah Perbaikan untuk Pendampingan yang Lebih Baik Read More »

Translate »