Menuju Pertanian Berkelanjutan: Mautenda Barat sebagai Titik Awal Kebangkitan Pangan Organik

Ende, Mautenda Barat | 12 Juni 2025, Krisis pangan bukan lagi sekadar wacana global. Ia telah menyusup hingga ke pelosok-pelosok daerah, termasuk Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Di tengah tantangan perubahan iklim, kerusakan lahan, dan ketergantungan pada bahan kimia pertanian, isu ketahanan pangan membutuhkan lebih dari sekadar retorika. Ia memerlukan aksi nyata, terukur, dan berbasis ilmu pengetahuan.

Sayangnya, perhatian pemerintah daerah terhadap isu ini masih belum maksimal. Meski ketahanan pangan kerap disebut dalam berbagai forum, belum tampak adanya langkah sistematis untuk menjadikannya sebagai program prioritas yang menyentuh akar persoalan di tingkat desa.

Namun, harapan itu tak sepenuhnya sirna. Yayasan Tananua Flores, sebuah lembaga non-pemerintah yang konsisten memperjuangkan keadilan sosial dan ekologis, telah mengambil langkah maju. Bekerja sama dengan Universitas Flores (Unflor), pemerintah Desa Mautenda Barat, dan Kelompok Tani Sa Ate, Tananua memprakarsai sebuah kajian pertanian organik yang berpotensi menjadi tonggak perubahan dalam sektor pertanian Ende.

Kajian ini bukan sebatas eksperimen akademis. Ia adalah sebuah gerakan—gerakan hijau yang lahir dari kolaborasi lintas sektor: akademisi, petani lokal, tokoh adat (Mosalaki), dan birokrasi desa. Dengan semangat back to nature, kegiatan ini menanamkan nilai-nilai keberlanjutan di atas tanah yang selama ini lelah dibombardir oleh pupuk dan pestisida kimia.

Kebangkitan dari Desa

Kepala Desa Mautenda Barat menyebutnya sebagai transformasi pertanian desa. Setelah setahun penuh berfokus pada pertanian padi sawah, kini masyarakat desa mulai diajak untuk melihat ke depan: mengubah pola lama menuju pertanian modern yang berbasis riset ilmiah. Langkah ini sangat strategis, karena pertanian desa adalah tulang punggung pangan lokal.

Ketua Kelompok Tani Sa Ate, Fransiskus Seda, dengan penuh semangat mengakui bahwa ini adalah pengalaman pertama mereka mendapatkan pendampingan dari berbagai pihak. “Selama ini kami hanya mengandalkan pengetahuan turun-temurun,” ujarnya. “Kini kami berkomitmen untuk belajar bersama agar hasil panen meningkat dan tanah kembali subur.”

Dukungan moral dan spiritual datang dari Mosalaki Detuboti, Pius Pio, yang menegaskan pentingnya menjaga tana watu—tanah warisan leluhur—agar tetap lestari dan memberi kehidupan.

Ilmu Pengetahuan untuk Tanah yang Lelah

Pentingnya perspektif ilmiah dalam pertanian organik ditegaskan oleh Alan, Ketua Program Studi Agroteknologi Universitas Flores. Ia menyampaikan bahwa tanah bukan benda mati, melainkan makhluk hidup yang harus diberi “makan” berupa bahan organik. “Salah satunya dengan menanam kacang-kacangan untuk memperkaya nitrogen,” jelasnya.

Sementara itu, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) menganggap kajian ini sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah atas kerusakan tanah akibat penggunaan pupuk kimia selama ini. Bersama mahasiswa Unflor dari berbagai spesialisasi, mereka akan memantau secara berkala perkembangan lahan yang ditanami secara organik.

Membangun Visi Bersama: Pertanian untuk Masa Depan

Bagi Yayasan Tananua Flores, inisiatif ini lebih dari sekadar program lapangan. Ia lahir dari kegelisahan terhadap ekosistem pertanian yang terus rusak dan dari keresahan masyarakat atas mahal dan langkanya bahan pangan sehat. Seperti yang ditegaskan oleh Heri Se, Manajer Program Tananua:
“Kami ingin membuka cara pandang baru, yakni melihat pertanian dan lingkungan secara positif, sehat, dan berkelanjutan melalui kolaborasi lintas sektor.”

Semua pihak dilibatkan secara aktif, dengan harapan bahwa suatu saat kelak, penggunaan pupuk dan pestisida kimia benar-benar bisa dihentikan.

Apa yang dimulai di Mautenda Barat pada 12 Juni 2025 adalah sebuah langkah kecil, namun strategis. Ia menggabungkan kekuatan lokal dan ilmu pengetahuan, membangun jembatan antara tradisi dan inovasi. Bila dijalankan konsisten, kajian pertanian organik ini bukan hanya akan menyuburkan tanah—tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa ketahanan pangan harus dimulai dari bawah.

Semoga inisiatif ini menjadi model yang direplikasi di desa-desa lain. Karena sejatinya, masa depan pangan tidak bisa menunggu. Ia harus ditanam hari ini.***

Ditulis oleh : HS

Menuju Pertanian Berkelanjutan: Mautenda Barat sebagai Titik Awal Kebangkitan Pangan Organik Read More »

Saatnya Kampus dan Masyarakat Bahu Membahu Merawat Bumi

Ende, 9 Juli 2025 — Yayasan Tananua Flores dan Universitas Flores secara resmi menandatangani Memorandum of Understanding (MoU), Perjanjian Kerja Sama, dan Implementation Agreement pada Rabu, 9 Juli 2025. Kegiatan ini berlangsung di Ruang Pedagogi, Lantai 3, Kampus 2 Universitas Flores, Ende.

Penandatanganan ini menjadi bentuk konkret sinergi antara lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat sipil dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan mendorong pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Ende dan sekitarnya.

Rektor Universitas Flores, Dr. Wilybrodus Lanamana, SE., MMA, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kerja sama antara kedua institusi sejatinya telah terjalin sejak lama, jauh sebelum diformalkan melalui perjanjian tertulis. Ia mencontohkan kegiatan reboisasi bersama di sekitar mata air dan kebun warga sebagai wujud nyata kolaborasi.

“Kegiatan ini harus menjadi program berkelanjutan sebagai wujud kepedulian kampus dalam memelihara kehidupan dan merawat bumi,” ujar Dr. Wilybrodus.

Ia juga menyoroti sejumlah tantangan yang perlu dihadapi bersama, antara lain:

  • Musim kemarau berkepanjangan yang mengancam keberhasilan program reboisasi.
  • Gangguan hama ternak yang memerlukan regulasi melalui Peraturan Desa (Perdes) dengan dukungan program “Kampus Berdampak”.
  • Pentingnya membangun visi lingkungan lestari untuk jangka panjang, setidaknya dalam 15 tahun ke depan, yang memerlukan komitmen berkelanjutan dari semua pihak.
  • Perlunya melibatkan pihak ketiga yang relevan untuk memperkuat kerja sama, termasuk lembaga donor dan organisasi mitra.

“Saya sangat nyaman dengan kerja sama ini karena memberikan dampak nyata bagi kampus, Yayasan Tananua Flores, dan masyarakat,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur Yayasan Tananua Flores, Bernadus Sambut, A.Md, menegaskan bahwa kolaborasi ini telah dimulai sejak tahun 2006 melalui program pengembangan komoditas kopi dan kakao serta penguatan layanan ekosistem.

“Mulai tahun 2025, kerja sama ini semakin diperkuat melalui pelaksanaan program magang mahasiswa di lokasi dampingan Yayasan. Saya berharap kerja sama ini tidak berhenti pada periode lima tahun, tetapi terus berlanjut secara berkesinambungan,” ungkap Bernadus.

Ia juga mendorong adanya kajian hukum bersama Taman Nasional Kelimutu (TNK) oleh Fakultas Hukum Universitas Flores untuk mendukung advokasi atas hak-hak masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

Penandatanganan ini menjadi momentum penting dalam memperkuat kolaborasi antara dunia pendidikan dan organisasi masyarakat sipil demi masa depan lingkungan yang lebih baik.

Oleh : Hery Se

Saatnya Kampus dan Masyarakat Bahu Membahu Merawat Bumi Read More »

Dari Kampus ke Kampung: Gerakan ‘Merawat Bumi’ Jawab Tantangan Krisis Iklim

Ende, Tananua Flores |Di lereng sejuk Kabupaten Ende, pada Sabtu pagi yang teduh, Sejumlah warga, tokoh adat, perempuan, pemuda, dan akademisi menyatu dalam satu semangat: merawat bumi, memelihara kehidupan. Di tengah krisis iklim global yang semakin mendesak, sebuah gerakan lokal tumbuh dari akar komunitas dengan kerja kolaborasi antara Tananua Flores, Universitas Flores, dan pemerintah desa melakukan aksi konservasi lintas desa.

Gerakan ini bukan sekadar bagian dari perayaan menyongsong 50 tahun Universitas Flores (5/7), melainkan representasi nyata bahwa cinta pada bumi harus dijalankan bersama, melampaui batas institusi dan generasi. Dengan mengusung tema “Merawat Bumi, Memelihara Kehidupan!”, aksi menanam pohon ini menyentuh empat desa di dua kecamatan yakni desa Detubela(140 orang) dan Mautenda Barat (148 orang)di Wewaria, serta desa Mbobhenga (196 orang) dan Malawaru (108 orang) di Nangapanda.

Dari kampus ke ladang, dari ruang kelas ke hutan, lebih dari 14.000 anakan pohon (Muntin, Merbau, Sengon, hingga durian) dibagikan. Sebanyak 2.189 anakan berhasil ditanam pada hari itu, menyebar di 16 titik konservasi strategis, mulai dari sumber mata air, kebun warga, hingga bantaran sungai.

Bagi Universitas Flores, ini bukan sekadar program pengabdian masyarakat. Ini adalah pengejawantahan dari filosofi Kampus Berdampak, di mana ilmu pengetahuan tidak berhenti di bangku kuliah. “Kami tidak hanya ingin mendidik di kelas, tetapi juga belajar bersama masyarakat, ikut membangun masa depan yang lebih lestari,” ujar Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Flores, Lori Gadi Djou, saat melakukan penanaman pohon di desa Detubela

Lori bahkan membayangkan satu desa Detubela menjadi ikon agrowisata lokal, yang dikenal bukan hanya karena konservasi, tetapi juga karena potensi ekonominya. “Bayangkan, kelak orang datang ke Detubela untuk makan durian. Itu bisa terjadi,” ujarnya penuh harap.

Di sisi lain, Tananua Flores memainkan peran vital sebagai jembatan antara kearifan lokal dan strategi ekologi modern. Ketua Pengurus Yayasan, Hironimus Pala, menekankan pentingnya memperkenalkan hutan keluarga sebagai solusi alternatif—memberi akses kayu bagi warga tanpa merusak hutan alam. “Ini adalah bentuk adaptasi terhadap krisis iklim, yang dampaknya paling dulu dirasakan petani di pelosok,” ungkapnya.

Kepemimpinan Ekologis dari Desa

Kesadaran ekologis tidak hanya datang dari kampus atau NGO, tetapi juga dari pemimpin desa. Kepala Desa Detubela, Eustakheus Kota, menjadi contoh kepemimpinan ekologis yang visioner. Ia memahami betul pentingnya menjaga dua mata air utama Lou dan Muru Menge yang tidak hanya menyuplai kebutuhan warganya, tetapi juga desa tetangga seperti Tanali dan Welamosa.

“Menjaga sumber air bukan untuk hari ini saja, tapi untuk anak cucu kita. Kalau kita rusak sekarang, ke depan kita sendiri yang susah,” ujarnya tegas.

Sementara itu kegiatan penanaman pohon juga dilakukan di Desa Malawaru, langkah bijak diambil dengan menunda sebagian penanaman hingga curah hujan mencukupi. Keputusan ini mencerminkan kedewasaan ekologis dan pengelolaan konservasi yang adaptif—bahwa merawat alam juga butuh kesabaran dan perhitungan jangka panjang. Desa Malawaru yang saat ini cuacanya mengalami kekeringan, Namun wujut nyata dalam gerakan ini tetap melakukan proses penanaman.

Salah satu kekuatan utama dari gerakan ini adalah Partisipatif. Tidak hanya para tokoh dan akademisi, tetapi juga perempuan dan pemuda terlibat aktif. Agnes Inemete (52), tokoh perempuan dari Malawaru, menyampaikan rasa syukurnya, “Saya merasa dihargai. Konservasi ini bukan hanya urusan orang penting, tapi juga urusan kami, para ibu.”

Semangat gotong royong yang mengalir dalam kegiatan ini membuktikan bahwa konservasi tidak hanya berbicara soal teknik, melainkan juga tentang ruang partisipasi dan keadilan sosial.

Tantangan ke depan tentu tidak kecil. Menanam hanyalah langkah awal. Pertanyaan krusial kemudian muncul: Siapa yang akan merawat? Bagaimana menjamin keberlanjutan?

Para inisiator sadar bahwa tanpa sistem pemeliharaan, pemantauan, dan dukungan kebijakan yang konsisten, upaya ini bisa kembali menjadi proyek sesaat. Dibutuhkan pelibatan sekolah, kelompok pemuda, tokoh agama, dan pembiayaan yang lebih stabil—tidak hanya menggantung pada hibah.

Tananua dan Universitas Flores tengah merintis jalan itu. Bukan sekadar seremoni tanam pohon, tapi model konservasi sosial-ekologis yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Bila upaya ini bisa dijadikan kebijakan desa atau bahkan replikasi lintas wilayah, maka harapan untuk perubahan sistemik bukanlah angan-angan.

Kolaborasi Bersama

Di tengah ladang, di pinggir hutan, dan di balik jemari tangan-tangan yang kotor oleh tanah basah, harapan itu tumbuh. Gerakan ini bukan milik satu lembaga, bukan milik satu tokoh. Ini milik semua akademisi, petani, ibu rumah tangga, pemuda desa.

Dan seperti pepatah bijak: “Siapa yang menanam, dia yang memetik.” Mungkin kita bukan yang akan menikmati rindangnya pohon ini. Tapi kelak, anak cucu akan berteduh di bawahnya.

Oleh : Tim Media Tananua

Dari Kampus ke Kampung: Gerakan ‘Merawat Bumi’ Jawab Tantangan Krisis Iklim Read More »

Dari Malawaru Menjaga Bumi: Suara Petani dan Nelayan untuk Generasi Mendatang

Malawaru, 28 Juni 2025 — Di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks, Desa Malawaru kembali menjadi panggung penting bagi suara-suara akar rumput. Pertemuan semester petani dan nelayan yang digelar secara rutin setiap enam bulan oleh Yayasan Tananua Flores menjadi bagian dari merefleksi seluruh problem social dan lingkungan yang terjadi di masyarakat desa.  Kali ini membawa sorotan tajam pada isu-isu keberlanjutan bumi dan keadilan ekologis yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat pesisir dan pedalaman.

Direktur Yayasan Tananua Flores, Bernadus Sambut, (25/6) dalam sambutannya membuka ruang refleksi mendalam. Ia menegaskan bahwa pertemuan ini bukan sekadar ajang laporan kerja, tetapi merupakan ruang strategis untuk menggali solusi bersama atas persoalan krusial lingkungan hidup.

“Menanam pohon bukan sekadar aktivitas fisik. Itu adalah komitmen menjaga kehidupan generasi muda. Ketika kita menjaga tanah dan air hari ini, kita sedang memastikan masa depan yang layak untuk anak-cucu kita,” tegas Bernadus.

Dua program utama yang saat ini dijalankan Tananua—konservasi laut dan pengelolaan daratan berkelanjutan—disandingkan untuk saling melengkapi. Isu pencemaran laut, overfishing, hingga praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan, menjadi perhatian bersama.

Bernadus tidak hanya menyampaikan keprihatinan, tapi juga mendorong aksi konkret. Ia mengajak masyarakat dan pemerintah lokal untuk merumuskan kebijakan daerah yang berpihak pada perlindungan sumber daya alam, seperti hutan, mata air, dan tanah pertanian.

“Kita harus mulai dari desa. Perubahan besar dimulai dari keputusan-keputusan kecil yang kita ambil hari ini,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Pertemuan ini dibuka secara resmi oleh Kepala Desa Malawaru, Patrianus Tonda, yang dalam pidatonya menekankan pentingnya forum ini sebagai jembatan dialog antara masyarakat dan pemangku kebijakan.

“Kami datang dengan harapan, bukan sekadar diskusi. Tapi untuk mendapatkan pencerahan tentang keberlangsungan hidup masyarakat kami yang menggantungkan hidup pada tanah dan laut,” kata Patrianus.

Ia juga menyinggung persoalan tapal batas hutan lindung yang belum jelas, serta minimnya pemahaman warga terhadap wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. Situasi ini dinilai berdampak langsung pada ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat.

Tak hanya itu, isu batas wilayah kelautan juga mengemuka. Patrianus secara tegas meminta kejelasan sistem pemetaan laut agar hak nelayan kecil terlindungi.

“Ketika kita bicara tentang petani, kita bicara tentang tanah. Dan ketika kita bicara tentang nelayan, kita bicara tentang laut. Kedua ruang ini adalah hidup kami,” tegasnya.

Dalam suasana penuh semangat, dialog yang dihadiri oleh petani, nelayan, aparat desa, dan lembaga pendamping ini ditutup dengan ajakan untuk memperkuat solidaritas lokal dan memperjuangkan hak-hak ekologis secara kolektif.

Pertemuan seperti ini perlu menjadi inspirasi bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia. Ketika masyarakat diberi ruang untuk bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan, di situlah harapan tumbuh. Malawaru menunjukkan bahwa keberlanjutan bumi bukan semata tanggung jawab global, melainkan bermula dari langkah kecil di desa-desa yang menjaga tanah, air, dan lautnya dengan cinta dan kesadaran.

Oleh :  Jhuan Mari

Dari Malawaru Menjaga Bumi: Suara Petani dan Nelayan untuk Generasi Mendatang Read More »

Laut dan Ladang Bertemu: Suara Desa Menggema di Pertemuan Semestral Tananua

Ende, 2 Juli 2025 – Suara petani dari pegunungan dan nelayan dari pesisir bersatu dalam satu forum di Desa Malawaru, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Mereka datang dari 14 desa dampingan Yayasan Tananua Flores (YTNF) untuk mengikuti Pertemuan Semestral yang berlangsung sejak 24 hingga 27 Juni 2025, dengan semangat yang sama: merawat bumi, menjaga kehidupan.

Pertemuan ini merupakan bagian dari strategi pendampingan rutin YTNF yang digelar setiap enam bulan. Selama empat hari, para peserta dari desa-desa pesisir dan pegunungan menggali isu-isu utama yang mereka hadapi, mulai dari krisis lingkungan, keterbatasan akses pasar, hingga hilangnya benih pangan lokal. Di tengah situasi itu, forum ini hadir sebagai ruang bersama pertama yang mempertemukan para pelaku utama pertanian dan kelautan di wilayah dampingan.

“Petani dan nelayan selama ini berjalan sendiri-sendiri. Forum ini menjadi ruang konsolidasi untuk merefleksikan pengalaman dan menyuarakan kebutuhan mereka yang belum tersentuh oleh kebijakan,” ujar Heribertus Se., Manajer Program YTNF.

Dua Dunia, Satu Visi

Peserta dari wilayah pesisir fokus pada Program Kelautan dan Perikanan yang mencakup pengelolaan ruang laut berbasis komunitas, pengamanan hak kelola, inklusi keuangan, dan ketahanan pangan keluarga nelayan.

Sementara itu, peserta dari desa pegunungan mengembangkan Program Livelihood Sustainable, yang menekankan pada penguatan organisasi petani, pertanian berkelanjutan, dan ekonomi kerakyatan melalui konsep lokal “Uma, Sao, Rega” (Kebun, Rumah, dan Pasar).

Meskipun berbeda lanskap geografis, keduanya memiliki tantangan serupa: kerusakan lingkungan, lemahnya pengelolaan kelompok, hingga dominasi kebijakan yang belum berpihak pada akar rumput.

Diskusi Mendalam dan Praktik Langsung

Kegiatan ini menghadirkan berbagai narasumber dan fasilitator untuk membahas sejumlah topik penting:

  • Pelestarian lingkungan berbasis komunitas
  • Kemandirian pangan lokal sebagai jati diri petani
  • Peran pemuda dalam pertanian dan kelautan berkelanjutan
  • Inovasi pengelolaan sampah dan seleksi benih
  • Penguatan usaha kelompok berbasis potensi desa

Tidak hanya diskusi, peserta juga terlibat langsung dalam praktik lapangan seperti:

  • Pembuatan pupuk organik untuk konservasi tanah dan air
  • Persemaian benih unggul lokal
  • Pengolahan pangan lokal seperti sambal gurita dan stik labu besi
  • Pengelolaan sampah plastik dengan pendekatan edukatif bertema “Sampah Plastik Sahabat Orang Cerdas”

Menjawab Tantangan, Merajut Harapan

Dalam sesi refleksi, para petani dan nelayan menyampaikan pengalaman unik dari desa mereka. Beberapa kelompok menceritakan keberhasilan dalam menjaga sumber pangan lokal, sementara yang lain menyoroti ancaman alih fungsi lahan dan kerusakan laut akibat penggunaan alat tangkap destruktif.

“Kegiatan ini bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tapi membangun kepercayaan antar komunitas. Kita mulai menyatukan langkah untuk membangun desa secara berkelanjutan,” ujar salah satu peserta dari Desa Kotabaru.

Kesepakatan Bersama: Forum untuk Masa Depan

Pertemuan ditutup dengan kesepakatan membentuk forum lintas desa untuk memperkuat suara petani dan nelayan secara kolektif. Forum ini diharapkan menjadi ruang advokasi bersama dalam menghadapi tantangan kebijakan, akses pasar, dan pelestarian sumber daya alam.

YTNF menyatakan akan terus memfasilitasi pertemuan semacam ini, dengan lokasi bergiliran di desa-desa dampingan, guna menjaga kesinambungan proses belajar, solidaritas antar komunitas, dan perumusan solusi bersama.

“Ini tentang peradaban baru: ketika laut dan ladang tidak lagi terpisah, tapi saling menopang,” tutup Heribertus.

Ditulis : Jhuan Mari

Laut dan Ladang Bertemu: Suara Desa Menggema di Pertemuan Semestral Tananua Read More »

Translate »