Dari Desa untuk Bumi: Gerakan Konservasi Berbasis Komunitas di kabupaten Ende

Ende, Tananua Flores | Krisis ekologis bukan lagi ancaman yang jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat Flores. Kerusakan mata air, berkurangnya tutupan hutan, dan melemahnya daya dukung lingkungan telah menjadi kenyataan yang langsung dirasakan, terutama oleh masyarakat desa. Dalam konteks inilah, inisiatif Yayasan Tananua Flores bersama masyarakat desa dampingan melalui Gerakan Serentak Konservasi Kolaboratif patut dibaca bukan sekadar sebagai kegiatan lingkungan, melainkan sebagai pernyataan sikap moral dan spiritual terhadap masa depan Bumi.

Gerakan yang dilaksanakan sepanjang bulan ini di berbagai wilayah Kabupaten Ende tersebut mencerminkan pendekatan konservasi yang berpijak pada spiritualitas ekologis—sebuah cara pandang yang menempatkan Bumi sebagai Ibu sekaligus Rumah Bersama. Pandangan ini menolak relasi eksploitatif manusia terhadap alam dan menggantikannya dengan relasi saling merawat dan bertanggung jawab.

Pelaksanaan gerakan ini menjangkau sejumlah desa di berbagai kecamatan, mulai dari Wewaria, Detukeli, Wolojita, Kelimutu, Ende, Lepembusu Kelisoke, Detusoko, hingga Kota Baru. Luasnya sebaran wilayah menunjukkan bahwa konservasi tidak lagi dipahami sebagai isu sektoral, tetapi sebagai agenda bersama lintas komunitas dan lintas wilayah.

Lebih penting lagi, pendekatan yang digunakan bersifat partisipatif dan kolaboratif. LPHAM, Penghubung Desa, Tim Patroli/Pengawas Kawasan, serta masyarakat desa terlibat langsung dalam aksi penanaman pohon di sekitar mata air, kebun rakyat, dan lahan kritis. Di sinilah letak kekuatan utama gerakan ini: konservasi tidak dipaksakan dari luar, melainkan tumbuh dari kesadaran dan keterlibatan masyarakat sendiri.

Namun, gerakan ini melampaui aspek teknis penanaman pohon. Ia dimaknai sebagai tindakan iman dan harapan—sebuah pernyataan bahwa menanam hari ini berarti menjaga kehidupan esok hari. Penanaman pohon menjadi simbol pertobatan ekologis, terlebih dimaknai dalam semangat Tahun Yubileum, sebagai momentum refleksi dan pembaruan relasi manusia dengan alam.

Nama gerakan, “Gerakan Konservasi Menanam Harapan untuk Ibu Bumi”, menegaskan pesan tersebut: alam yang terluka hanya dapat dipulihkan melalui komitmen kolektif dan kesetiaan jangka panjang, bukan melalui aksi seremonial semata.

Gerakan di Desa Tiwusora

Gambaran konkret dari semangat ini terlihat jelas dalam kegiatan konservasi mata air Kela Lo’o di Desa Tiwusora, Kecamatan Lepembusu Kelisoke, yang dilaksanakan pada Minggu, 14 Desember 2025. Sekitar 40 orang—terdiri dari LPHAM, Penghubung Desa, Tim Patroli Kawasan, dan Orang Muda Katolik (OMK) Stasi Deturia—bersatu dalam kerja bersama merawat sumber air sebagai denyut kehidupan desa.

Penanaman berbagai jenis tanaman konservasi seperti munti, murbau, sengon, dan stek waru dilakukan dengan pertimbangan ekologis yang matang: menjaga struktur tanah, memperkuat resapan air, dan melindungi mata air dari degradasi. Pilihan jenis tanaman ini menunjukkan bahwa konservasi dijalankan dengan pengetahuan lokal dan kesadaran lingkungan yang terus berkembang.

Keterlibatan Orang Muda Katolik menjadi catatan penting. Bagi mereka, kegiatan ini dimaknai sebagai “bank air”—sebuah tabungan kehidupan bagi generasi mendatang. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis mulai berakar kuat di kalangan generasi muda, yang selama ini kerap dianggap jauh dari isu-isu lingkungan.

Rekomendasi tindak lanjut berupa pembuatan pagar pelindung sumber air serta rencana penanaman lanjutan menandakan bahwa gerakan ini tidak berhenti pada satu momentum. Pernyataan Penghubung Desa Tiwusora dan Pendamping Lapangan Yayasan Tananua Flores memperkuat pesan bahwa konservasi hanya akan berhasil jika dijalankan secara berkelanjutan dan melibatkan seluruh unsur masyarakat, termasuk pemerintah desa dan pemangku adat.

Pada akhirnya, gerakan ini menyampaikan satu pesan editorial yang tegas: menjaga Bumi berarti menjaga kehidupan manusia itu sendiri. Konservasi bukan pilihan tambahan, melainkan kebutuhan mendasar. Menanam hari ini bukan sekadar menanam pohon,tetapi menanam harapan agar air tetap mengalir,alam tetap hidup,dan masa depan tetap memiliki pijakan.

Ditulis Oleh : Heri Se

Dari Desa untuk Bumi: Gerakan Konservasi Berbasis Komunitas di kabupaten Ende Read More »

Ketika Adat dan Alam Mengetuk Pintu Desa

Ende, Tananua Flores| Di tengah laju perubahan zaman dan tekanan terhadap alam yang kian terasa, sebuah pertemuan empat hari di Ende pada 02-05 Desember 2025 lalu telah memberikan harapan baru. Bertempat di Bina Olangari Ende para mosalaki, pemerintah desa, perempuan, pemuda, dan para pegiat adat berkumpul mengikuti Workshop Penyusunan Peraturan Desa. Mereka datang membawa sebuah persoalan yang sama yakni bagaimana memastikan adat istiadat  tetap hidup dan Alam terjaga dengan baik di tengah gempuran modernitas.

Yayasan Tananua Flores (YTNF) mungkin hanya menyebutnya sebagai pelatihan teknis. Namun bagi para peserta, inilah ruang penyadaran kolektif—ruang yang mengembalikan ingatan tentang siapa mereka dan apa yang harus mereka jaga.

Pada hari pertama, para mosalaki membuka ruang dengan cerita-cerita yang mengandung pesan mendalam. Ritual adat yang kian jarang, generasi muda yang makin jauh dari akar budaya, hutan dan mata air yang perlahan hilang dari kehidupan desa.

Salah satu mosalaki berkata pelan namun tegas:

“Kami menjaga tanah ini bukan untuk kami sendiri, tetapi untuk mereka yang belum lahir.”

Kalimat itu menjadi pengingat keras bahwa desa bukan hanya ruang geografis—ia adalah warisan moral.

Kolaborasi yang Nyaris Hilang, Kini Menemukan Bentuknya

Ketika pemerintah desa dan BPD ikut bergabung pada hari kedua, suhu diskusi berubah. Bukan lagi sekadar laporan kekeringan atau hama, tetapi kesadaran bahwa persoalan desa tidak bisa diselesaikan sendirian.

Ada desa yang menawarkan benih lokal untuk desa lain. Ada pemuda yang ingin mempelajari kembali adat. BPD menyatakan dukungan untuk Perdes berbasis kearifan lokal.

Kolaborasi yang dulu terasa sebagai wacana kosong, kini mulai menunjukkan wujudnya.

Materi teknis pada hari ketiga justru menjadi titik balik. Peserta disadarkan bahwa aturan desa bukan soal pasal, ayat, atau sanksi semata. Aturan adalah bentuk cinta dan tanggung jawab terhadap desa.

Tanpa Perdes yang kuat, mata air dapat hilang dalam satu keputusan sepihak, hutan dapat rusak dalam satu musim. Desa membutuhkan pagar yang disepakati bersama.

Menulis Perdes, Menulis Masa Depan

Hari keempat memperlihatkan bahwa peserta bukan hanya mampu memahami, tetapi juga dapat merumuskan aturan mereka sendiri. Pasal demi pasal lahir dari diskusi panjang, tawa, perdebatan kecil, dan semangat yang tak bisa dipalsukan.

Mereka menulis Perdes, tetapi sebenarnya mereka sedang menulis ulang masa depan desa.

Dalam sesi penutupan, seorang perwakilan perempuan berkata lirih namun mantap:

“Kami ingin anak-anak kami tumbuh dengan adat yang kuat dan alam yang sehat.”

Pernyataan ini bukan sekadar harapan, melainkan tekad kolektif bahwa desa harus kembali menjadi ruang hidup yang melindungi warganya—bukan sekadar wilayah administratif.

YTNF menutup kegiatan dengan komitmen untuk mendampingi desa hingga Perdes benar-benar lahir dan diterapkan.

Empat hari pelatihan memang singkat, tetapi jejaknya panjang. Peserta pulang membawa bukan hanya rancangan Perdes, tetapi kesadaran baru bahwa adat dan alam bukan beban masa lalu, melainkan cahaya yang menuntun masa depan.

Jika desa-desa di Ende mampu merawat kerja bersama ini, maka hutan, mata air, dan pangan lokal bukan hanya cerita nostalgia—mereka akan tetap hidup sebagai sumber kehidupan generasi mendatang.***

Kontributor: Herman N Lion

 

Ketika Adat dan Alam Mengetuk Pintu Desa Read More »

Gerakan Hijau dari Malawaru: Anak SDI Tanam Pohon untuk Selamatkan Lingkungan

Ende, Malawaru – Tananua Flores | Di tengah meningkatnya kerusakan hutan serta eksploitasi alam yang terus terjadi akibat tuntutan ekonomi, sebuah inisiatif kecil namun penuh harapan muncul dari lingkungan SDI Malawaru. Pada Kamis, 11 Desember 2025, Yayasan Tananua Flores bersama para siswa SDI Malawaru melaksanakan kegiatan penanaman anakan kayu marabau sebagai wujud nyata gerakan konservasi lingkungan sejak usia dini. Program ini bertujuan menumbuhkan kecintaan anak-anak terhadap alam sekaligus memperkenalkan pentingnya menanam pohon bagi keberlanjutan hidup.

Kegiatan penanaman pohon ini menyampaikan pesan besar bahwa kesadaran lingkungan perlu ditanam sebelum alam kehilangan suaranya.

Kepala SDI Malawaru, Yulius Kaju, S.Pd, menyatakan bahwa pendidikan lingkungan tidak boleh berhenti pada teori di kelas.

“Anak-anak harus tumbuh dengan kesadaran peduli lingkungan dan kecintaan terhadap alam sekitarnya. Penanaman pohon ini bukan hanya soal menambah tutupan hijau, tetapi juga menumbuhkan mental investasi ekonomi masa depan yang berkelanjutan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa potensi alam bukan sekadar komoditas, melainkan titipan yang harus dikelola secara bijaksana. Dalam perkembangan zaman yang cepat, peserta didik perlu memahami bahwa aspek ekonomi dan keberlanjutan lingkungan harus berjalan seiring.

“Dalam dunia pendidikan saat ini, praktik langsung di lapangan sangat penting agar anak-anak memahami pengetahuan alam secara nyata,” jelas Yulius.

Sementara itu, Anselmus Kaki Reku, staf Yayasan Tananua Flores, menilai kegiatan ini sebagai langkah strategis meningkatkan kembali kesadaran ekologis masyarakat.
“Banyak kerusakan hutan hari ini terjadi karena tuntutan ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Evaluasi kami menunjukkan bahwa akar persoalan ini muncul karena nilai cinta alam tidak ditanam sejak usia dini,” ungkapnya.

Anselmus menambahkan, mendorong anak menanam pohon sejak kecil akan membentuk kedekatan mereka dengan alam. “Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, generasi sekarang sangat mudah jauh dari alam. Karena itu, gerakan seperti ini penting untuk mengembalikan kesadaran ekologis mereka,” jelasnya.

Gerakan menanam pohon di SDI Malawaru menjadi pengingat bahwa memperbaiki hubungan manusia dengan alam harus dimulai dari generasi paling muda. Anak-anak yang menanam pohon hari ini adalah penjaga hutan di masa depan. Mereka tidak hanya menanam bibit marabau, tetapi juga menanam harapan akan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Dengan langkah kecil namun penuh makna ini, SDI Malawaru dan Yayasan Tananua Flores menunjukkan bahwa perubahan besar dapat bertumbuh dari benih yang ditanam dengan cinta dan pengharapan.***

Kontributor : A.Reku

Gerakan Hijau dari Malawaru: Anak SDI Tanam Pohon untuk Selamatkan Lingkungan Read More »

Saatnya Merebut Kembali Pangan Kita dari Cengkeraman Bahan Kimia: Studi Kasus Transisi Pertanian Organik di Mautenda Barat

Ende, Tananua Flores – Pertanyaan mendasar perlu diajukan kembali: sampai kapan tanah pertanian kita bergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membawa dampak degradasi lingkungan dan kesehatan? Tantangan ini mengemuka kuat dalam sebuah pertemuan evaluasi ilmiah yang dilaksanakan di Dusun Detuboti, Desa Mautenda Barat, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Pertemuan tersebut menjadi momentum penting dalam upaya transisi menuju sistem pertanian yang lebih sehat, mandiri, dan berkelanjutan.

Di jantung kawasan pertanian yang masih mempertahankan tradisi budidaya rendah input, Kelompok Tani Sa Ate bersama Yayasan Tananua Flores, akademisi Universitas Flores (Unflor), Pemerintah Desa, Mosalaki (tokoh adat), Dinas Pertanian, serta Dinas Ketahanan Pangan berkumpul untuk menilai hasil uji coba penerapan input organik periode pertama. Pertemuan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi menjadi tonggak deklarasi komitmen kolektif untuk mewujudkan hamparan padi 100% organik di Mautenda Barat.

1. Evaluasi Ilmiah sebagai Dasar Gerakan Transisi

Pertemuan ini bertujuan untuk memverifikasi hasil uji coba pertanian organik yang telah dilakukan pada satu musim tanam. Direktur Yayasan Tananua Flores menegaskan pentingnya pembuktian ilmiah dalam setiap langkah transisi.

Menurutnya, meskipun hasil visual pada tanaman uji coba terlihat baik, data ilmiah menjadi syarat mutlak untuk memastikan bahwa intervensi organik tersebut benar-benar efektif. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh dengan menggandeng pihak akademisi untuk menjaga objektivitas dan akurasi.

Ketika laporan hasil kajian dari tim Unflor dipresentasikan, ditemukan bahwa perbedaan hasil antara perlakuan organik dan non-organik tidak menunjukkan signifikansi yang menonjol. Kepala Desa Mautenda Barat menegaskan bahwa hasil ini tidak menunjukkan kegagalan sistem organik, melainkan menjadi bukti bahwa tanah di Detuboti masih berada dalam kondisi relatif sehat akibat minimnya penggunaan input kimia dalam praktik pertanian tradisional.

2. Tantangan Metodologis dalam Transisi Organik

Diskusi dalam pertemuan mengungkap sejumlah kendala dalam pelaksanaan protokol uji coba. Beberapa perlakuan yang dilakukan petani—seperti penambahan perangsang bunga organik buatan sendiri pada waktu yang tidak sesuai—dapat memengaruhi validitas hasil penelitian.

Direktur Yayasan Tananua Flores menekankan pentingnya kedisiplinan metodologis:

“Dalam kajian ilmiah, setiap perlakuan harus mengikuti protokol yang telah disepakati. Inisiatif baru harus melalui diskusi terlebih dahulu.”

Kesalahan yang terjadi bukan terletak pada bahan yang digunakan—yang sudah berbasis organik—melainkan pada pelanggaran jadwal dan ketidakkonsistenan prosedur. Transisi menuju pertanian organik menuntut disiplin yang ketat, tidak hanya dalam menghindari bahan kimia, tetapi juga dalam mengikuti standar penelitian yang telah ditentukan.

3. Penguatan Komitmen Kolektif Menuju 100% Organik

Meskipun terdapat tantangan, pertemuan ini juga mencatat komitmen yang kuat dari seluruh pihak untuk memperkuat gerakan pertanian organik.

a. Dukungan Adat dan Infrastruktur Desa

Mosalaki memberikan restu adat dengan menambahkan bidang uji coba pada periode tanam berikutnya. Pemerintah Desa Mautenda Barat turut mendukung dengan menyiapkan anggaran untuk pengadaan mesin pencacah bahan pupuk, yang akan memperkuat kemandirian produksi pupuk organik.

b. Kebijakan Dinas Pertanian

Dinas Pertanian melalui Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) menetapkan bahwa Detuboti akan diarahkan sebagai wilayah dengan penerapan input organik 100%. Kebijakan ini diperkuat dengan memasukkan poin kewajiban penerapan pertanian organik ke dalam AD/ART Kelompok Tani Sa Ate.

c. Jaminan Keamanan Pangan oleh Dinas Ketahanan Pangan

DKP berkomitmen mendampingi proses uji residu dan pengawasan mutu panen, sebagai langkah penting memastikan bahwa padi organik yang dihasilkan aman dan layak konsumsi.

4. Rencana Aksi Uji Coba Tahap II

Pertemuan menghasilkan kesepakatan bersama untuk melanjutkan kajian pada musim tanam berikutnya. Uji coba tahap II akan dilakukan dengan kontrol variabel yang lebih ketat untuk menjamin akurasi data.

Unflor akan menempatkan mahasiswa peneliti secara penuh di lokasi sebagai pendamping lapangan. Kepala Desa juga menekankan perlunya menyediakan papan informasi publik (baliho) mengenai hasil kajian sebagai bentuk transparansi dan edukasi bagi masyarakat luas.

Waktu pelaksanaan akan ditetapkan oleh Mosalaki, dengan target penanaman antara akhir Desember hingga pertengahan Januari. Varietas padi dengan label ungu (kelas unggul) akan tetap digunakan untuk menjaga konsistensi penelitian.

5. Penutup: Mengembalikan Kedaulatan Pangan Masyarakat

Evaluasi ini bukan merupakan akhir, tetapi fase awal dari transformasi sistem pangan di Kabupaten Ende. Seperti disampaikan oleh Elias Mbani, pertemuan ini membuka jalan untuk memperbaiki praktik pertanian yang selama ini dianggap keliru.

Transisi menuju pertanian organik bukan hanya tentang mengganti produk kimia dengan bahan organik, tetapi tentang memulihkan relasi manusia dengan tanah, meningkatkan disiplin metodologi, serta memastikan keamanan pangan bagi generasi mendatang.

Saatnya Merebut Kembali Pangan Kita dari Cengkeraman Bahan Kimia: Studi Kasus Transisi Pertanian Organik di Mautenda Barat Read More »

Program Sustainable Tananua Flores

Ende, Tananua Program Sustainable Tananua Flores adalah sebuah inisiatif pembangunan berkelanjutan yang dirancang untuk memperkuat kapasitas komunitas lokal dalam mengelola sumber daya alam secara arif, bertanggung jawab, dan berkelanjutan. Program ini hadir sebagai respon terhadap berbagai tantangan di wilayah pedesaan—mulai dari menurunnya kualitas lahan, ketidakstabilan produksi pangan, hingga meningkatnya kerentanan terhadap bencana alam.

Melalui pendekatan yang berbasis pada partisipasi dan kearifan lokal, program ini menempatkan masyarakat sebagai aktor utama perubahan. Pendampingan dilakukan secara intensif kepada kelompok tani, perempuan, dan generasi muda, sehingga setiap solusi yang dirancang benar-benar sesuai kebutuhan, budaya, dan kondisi ekologi setempat.

  1. Pertanian Ramah Lingkungan
    Program mendorong praktik budidaya yang meminimalkan penggunaan bahan kimia, memperkuat kesuburan tanah secara alami, serta meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan.
  2. Konservasi Lahan dan Air
    Upaya konservasi dilakukan melalui rehabilitasi lahan kritis, pengelolaan daerah aliran sungai, agroforestri, dan teknologi sederhana untuk menjaga ketersediaan air sepanjang tahun.
  3. Peningkatan Ketahanan Pangan
    Masyarakat didampingi untuk mengembangkan sistem pangan lokal yang beragam dan stabil, sehingga mampu menghadapi perubahan iklim dan fluktuasi pasar.
  4. Pengurangan Risiko Bencana
    Program membangun kapasitas desa dalam memahami risiko, membuat rencana mitigasi, dan menerapkan langkah-langkah adaptasi yang berbasis ekosistem.
  • Partisipatif, menempatkan komunitas sebagai pengambil keputusan utama.
  • Berbasis data lokal, melalui pemetaan, analisis desa, dan identifikasi masalah bersama.
  • Mengintegrasikan kearifan lokal, sehingga kegiatan selaras dengan nilai dan praktik budaya masyarakat.
  • Kolaboratif, melibatkan pemerintah desa, lembaga adat, kelompok perempuan, dan pemuda.

Program Sustainable Tananua Flores tidak hanya berfokus pada peningkatan ekonomi keluarga petani, tetapi juga membangun sistem lingkungan yang sehat dan kuat. Dengan demikian, manfaat yang dihasilkan dapat dirasakan secara adil oleh masyarakat saat ini dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Program Sustainable Tananua Flores Read More »

Translate »