Ende, Tananua Flores | Indonesia sebagai negara kepulauan di kawasan cincin api Pasifik menghadapi ancaman bencana yang terus meningkat akibat perubahan iklim. Data BNPB mencatat, sepanjang 2023 terjadi 5.400 bencana, dan hampir seluruhnya merupakan bencana hidrometeorologi. Ribuan warga terdampak, ratusan meninggal, dan jutaan terpaksa mengungsi.
Di Kabupaten Ende, risiko tersebut terasa nyata. Kajian Risiko Bencana 2017–2022 menunjukkan 18 kejadian bencana dengan korban meninggal mencapai 47 jiwa dan kerugian ekonomi yang diperkirakan menembus Rp3,9 triliun. Karena tingginya ancaman tersebut, BNPB menetapkan Kabupaten Ende sebagai wilayah berisiko tinggi dengan skor indeks 144.
Situasi ini menjadi tantangan berat bagi pemerintah daerah yang masih berjuang meningkatkan kapasitas pembangunan dengan sumber daya terbatas. Ancaman bencana yang kian kompleks menuntut investasi berkelanjutan dalam penguatan kesiapsiagaan, adaptasi perubahan iklim, dan pengurangan risiko bencana.
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 secara tegas mengamanatkan bahwa penanggulangan bencana harus terintegrasi di dalam perencanaan pembangunan. Karena itu, penyusunan RPJMD Kabupaten Ende harus memastikan bahwa unsur Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Perubahan Iklim (PI) menjadi bagian utama strategi pembangunan jangka menengah daerah.
Panduan ini disusun untuk membantu tim penyusun RPJMD Kabupaten Ende 2025–2045 dalam mengintegrasikan PRB dan PI secara sistematis, demi mewujudkan Kabupaten Ende yang lebih tangguh dan adaptif dalam menghadapi ancaman bencana yang terus berkembang.
Ende, Tananua Flores | Bencana yang dipicu oleh perubahan iklim menjadi ancaman yang semakin nyata dan serius bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Sebagai bagian dari sabuk Cincin Api Pasifik, wilayah Indonesia terus berada pada tingkat kerentanan tertinggi di dunia. Data Bencana Tahun 2023 yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 5.400 kejadian bencana, di mana 99,35% merupakan bencana hidrometeorologi, dan 0,65% sisanya merupakan bencana geologi. Rangkaian bencana tersebut menyebabkan 275 orang meninggal, 5.795 luka-luka, dan 8.491.288 jiwa terpaksa mengungsi.
Pada skala lokal, Dokumen Kajian Risiko Bencana Kabupaten Ende 2017–2022 menunjukkan terdapat 18 kejadian bencana dalam kurun waktu tersebut. Dampaknya tidak kecil: 47 jiwa meninggal, 38 orang hilang, 19 orang terluka, dan lebih dari 1.150 jiwa mengungsi. Selain korban manusia, bencana-bencana ini mengakibatkan kerugian ekonomi yang mencapai Rp 3.938.874.300.000, dengan kerusakan terbesar disebabkan oleh cuaca ekstrem. Tidak mengherankan, BNPB menetapkan Kabupaten Ende sebagai salah satu wilayah dengan indeks risiko bencana tinggi, yakni pada angka 144.
Tantangan bagi Kabupaten Ende
Dampak bencana dan tingginya kerentanan menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Kabupaten Ende. Meskipun Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang impresif di kawasan Asia Pasifik, upaya keluar dari middle income trap masih berlangsung. Kondisi ini turut memengaruhi kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran yang memadai untuk penanggulangan bencana dan penanganan perubahan iklim. Terbatasnya pendanaan membuat proses peningkatan kesiapsiagaan, adaptasi, dan respons bencana sering kali tidak optimal.
Dengan semakin meningkatnya potensi bencana, Kabupaten Ende membutuhkan investasi berkelanjutan untuk memperkuat ketahanan daerah. Upaya ini juga menjadi bagian penting dari strategi nasional dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh menghadapi ancaman bencana.
Landasan Kebijakan Nasional
Pemerintah Indonesia telah memberikan arah yang jelas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa rencana penanggulangan bencana merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Pasal 10 ayat (2) menegaskan pentingnya memasukkan unsur penanggulangan bencana dalam dokumen pembangunan.
Dengan demikian, pemaduan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan penanganan Perubahan Iklim (PI) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan keharusan strategis untuk memastikan arah pembangunan yang berkelanjutan.
Urgensi Integrasi PRB dan PI dalam RPJMD Kabupaten Ende
RPJMD merupakan dokumen penting yang memuat visi, misi, dan arah kebijakan kepala daerah selama periode kepemimpinan. Mengintegrasikan perspektif PRB dan PI ke dalam RPJMD berarti memastikan bahwa setiap program dan kegiatan pembangunan daerah disusun dengan memperhatikan:
Pemetaan risiko dan kerentanan daerah
Strategi adaptasi perubahan iklim
Sistem peringatan dini
Kesiapsiagaan masyarakat
Tata kelola penanggulangan bencana
Penguatan kapasitas lembaga dan desa/kelurahan
Integrasi ini berfungsi sebagai pijakan untuk memperkuat ketangguhan daerah sekaligus meminimalkan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana.
Tujuan Penyusunan Panduan
1. Maksud
Memberikan referensi bagi para pihak, khususnya Tim Perumus RPJMD Kabupaten Ende 2025–2045, terkait cara mengintegrasikan unsur Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Perubahan Iklim (PI) dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah.
2. Tujuan
Menyelaraskan dan mengintegrasikan unsur PRB dan PI dalam perumusan RPJMD Kabupaten Ende.
Mengarusutamakan perspektif PRB dan PI dalam setiap tahapan penyusunan perencanaan pembangunan.
Mendorong terwujudnya ketahanan daerah dan pengurangan risiko bencana yang lebih sistematis dan efektif.
Ende, Tananua | Di Desa Ja Mokeasa, Kecamatan Ende, kehidupan masyarakat selama bertahun-tahun bergantung pada hasil pertanian. Namun, perubahan iklim yang tak menentu kini menjadi tantangan besar. Musim hujan datang terlambat, kemarau terasa lebih panjang, dan hasil panen pun sering gagal. Bagi para petani di desa ini, ketidakpastian musim berarti ketidakpastian hidup.
“Sekarang kami tidak bisa lagi menebak kapan waktu tanam yang tepat,” ujar Fidelis Setu, salah satu tokoh masyarakat sekaligus anggota kelompok ProKlim Sama Se. “Kadang kami sudah menanam, tapi hujan tidak turun. Akhirnya, banyak yang gagal panen dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
Kondisi inilah yang menjadi titik balik bagi masyarakat Ja Mokeasa. Tahun 2022 menjadi awal perubahan ketika Yayasan Tananua Flores (YTN F) hadir memberikan pendampingan dengan dukungan dari World Neighbors (WN) yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI). Melalui proses dialog dan pendampingan intensif, masyarakat mulai menyadari bahwa menjaga lingkungan berarti juga menjaga masa depan mereka sendiri.
Dari proses belajar bersama itu, lahirlah Kelompok ProKlim Sama Se — simbol semangat baru warga Ja Mokeasa untuk menanam harapan dan menata masa depan. Kelompok ini resmi dibentuk dan disahkan melalui Surat Keputusan Kepala Desa Ja Mokeasa pada 1 Maret 2023. Terdiri dari 45 anggota (21 laki-laki dan 24 perempuan), mereka berkomitmen untuk menerapkan praktik pertanian cerdas iklim, konservasi sumber daya alam, serta pengelolaan sampah dan energi yang berkelanjutan.
Desa Ja Mokeasa sendiri terletak di ketinggian 727 meter di atas permukaan laut dengan topografi pegunungan dan perbukitan yang subur. Komoditas utama desa ini meliputi kemiri, kakao, cengkeh, tanaman pangan, serta hortikultura. Namun, perubahan pola cuaca membuat banyak lahan tidur dan hasil pertanian menurun drastis.
“Melalui ProKlim, kami belajar tentang pertanian organik, cara mengelola air, dan bagaimana menanam tanpa merusak lingkungan,” kata Fidelis. “Kami juga menanam pohon dan membuat pupuk organik agar tanah tetap subur.”
Pengembangan Pangan Lokal Padi dan Jagung di Kebun Milik Ibu Yasinta Leta-Desa Ja Mokeasa
Dari Tanah Gersang Menjadi Ruang Harapan
Tahun 2025 menjadi momentum penting. Program adaptasi dan mitigasi yang digerakkan kelompok Sama Se mulai menunjukkan hasil nyata. Sebanyak 1.085 pohon sengon, jati putih, mahoni, munti, dan merbau ditanam di dua lokasi konservasi sumber mata air — Mereseke dan Aenabe — dengan luas total 2 hektare. Areal konservasi ini juga dilindungi dengan pagar keliling agar tetap terjaga dari gangguan ternak dan aktivitas manusia.
Selain itu, sebanyak 19 petani aktif mengembangkan tanaman pangan lokal seperti padi, jagung, dan talas di lahan seluas 0,32 hektare. Program sosialisasi mengenai penghematan air, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) berhasil menjangkau 65 rumah tangga.
Di bidang mitigasi, 65 rumah tangga kini mengelola sampah mulai dari sumbernya. Sebanyak 20 rumah tangga menggunakan tungku hemat kayu bakar, sementara para anggota kelompok membuat pupuk organik dan membuka lahan tanpa membakar.
Di lahan seluas 0,14 hektare, 13 petani mulai mengembangkan model agroforestry yang menggabungkan tanaman pangan dan pohon buah seperti durian, lengkap dengan rorak dan terasering untuk menahan air hujan.
Pelatihan pembuatan kompos bagi anggota Proklim di Desa Ja Mokeasa
Kolaborasi yang Menggerakkan
Perubahan besar ini tidak datang seketika. Semua berawal dari kerja bersama antara masyarakat, pemerintah desa, dan pendamping lapangan dari YTN Flores.
“Dulu, kami merasa perubahan iklim itu di luar kendali kami,” tutur Fidelis pelan. “Sekarang kami tahu, kami bisa ikut berperan — dengan menanam pohon, menjaga air, dan bertani dengan cara yang ramah alam.”
Desa Ja Mokeasa kini memiliki dua kelompok aktif, yakni Sama Se dan Sinar Timur. Kedua kelompok ini berjalan beriringan, saling belajar, dan saling menguatkan. Dari keterlibatan warga hingga penataan administrasi kelompok, semua dilakukan dengan semangat gotong royong dan rasa memiliki.
Kerja keras ini akhirnya mendapat pengakuan. Pada pertengahan tahun 2025, Desa Ja Mokeasa berhasil melangkah dari kategori Pratama ke Nominasi Utama dalam Program Kampung Iklim (ProKlim) yang diselenggarakan oleh KLHK RI.
Penghargaan itu bukan hanya simbol keberhasilan, tetapi juga bukti nyata bahwa perubahan bisa tumbuh dari desa kecil di lereng pegunungan.
“Kami bangga,” ujar Fidelis tersenyum. “Karena kini kami tahu, menjaga alam bukan sekadar tugas, tapi bagian dari iman dan harapan kami untuk anak cucu.”
Cerita Ja Mokeasa mengajarkan bahwa perubahan tidak lahir dari proyek besar, melainkan dari tangan-tangan kecil yang bekerja dengan hati. Di ladang, di sumber air, di dapur, dan di setiap rumah, warga belajar bahwa alam yang lestari adalah warisan terbaik yang bisa mereka tinggalkan.
Dari desa kecil di Ende ini, semangat ProKlim terus tumbuh — menanam harapan, dan menuai perubahan.
Oleh : Maria Sisilia Virginia Wawo (YTN F, Ende, NTT)
Kadang, kesuksesan tidak hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang perjalanan dan hubungan yang terjalin di dalamnya. Ini adalah kisah perjumpaan antara kegigihan akar rumput dan sebuah filosofi yang bijak: “Kami tidak memberikan ikan, kami hanya memberikan mata kail”. Pertemuan antara Kelompok ProKlim dan Komisi PSE Keuskupan Agung Ende adalah kisah tentang kesiapan dan harapan besar bahwa dukungan kecil akan menumbuhkan perubahan ekologis yang berkelanjutan.” Pertemuan ini terwujud berkat dampingan dan fasilitasi Yayasan Tananua Flores (YTN F) yang mendampingi ke 6 Kelompok ProKlim di Kabupaten Ende dengan dukungan dari World Neighbors (WN) yang bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI)
Awal Sebuah Perjumpaan
Pertemuan antara Kelompok ProKlim (Program Kampung Iklim) dan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Ende (PSE KAE) menjadi simbol bagaimana kolaborasi kecil dapat menumbuhkan harapan besar bagi perubahan ekologis yang berkelanjutan. Inisiatif ini lahir dari dampingan Yayasan Tananua Flores (YTNF) dengan dukungan World Neighbors (WN) yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI). Melalui program ini, enam kelompok ProKlim di Kabupaten Ende diarahkan untuk bergerak bersama menghadapi tantangan perubahan iklim.
Mereka bukan orang baru dalam perjuangan merawat bumi. Mereka adalah petani, penjaga tanah dan air yang setiap harinya berhadapan langsung dengan dampak perubahan iklim. Kini, semangat mereka meluas: tidak hanya menanam dan memanen, tapi juga menulis, merancang, dan mengelola perubahan.
Keenam kelompok ProKlim binaan YTNF yang dimaksud adalah:
ProKlim Kwasma – Desa Wolomage (42 anggota)
ProKlim Daubugu – Desa Wolomage (53 anggota)
ProKlim Kompak – Desa Wolotolo (46 anggota)
ProKlim Sama Se – Desa Ja Mokeasa (45 anggota)
ProKlim Sama Rasa – Desa Wologai Dua (58 anggota)
ProKlim Sinar Seko – Desa Wologai (51 anggota)
Seluruh kelompok ini telah mendapatkan SK Kepala Desa. Bersama-sama, mereka memutuskan untuk menyusun proposal bantuan yang diajukan ke Komisi PSE KAE serta beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende.
Tujuan mereka sederhana: ingin mengembangkan usaha pertanian organik, pengelolaan sampah, dan pengolahan kopi pasca panen, demi keberlanjutan ekonomi sekaligus menjaga lingkungan. Rincian anggaran tiap kelompok pun berbeda, mulai dari Rp 14 juta hingga Rp 23 juta, tergantung kebutuhan program yang diajukan.
Perjalanan Tidak Selalu Mulus
Menulis proposal bukan hal mudah bagi para petani. Di sela-sela rutinitas mengurus kebun dan keluarga, mereka harus belajar menulis, menyusun rencana, dan menghitung biaya.
“Saya belum pernah menulis proposal sebelumnya. Awalnya gugup dan bingung mau mulai dari mana,” kata Basilius Tiara, salah satu anggota kelompok. “Tapi saya bersyukur bisa belajar. Ini pengalaman berharga.”
Proses ini menjadi ruang belajar yang penuh tantangan. Tim YTNF dengan sabar mendampingi setiap langkah — dari menggali ide, menyusun kalimat, hingga memfinalisasi proposal. Setelah melalui revisi demi revisi dan berbagai kendala seperti kesibukan dan situasi keluarga, akhirnya proposal berhasil diserahkan ke meja Komisi PSE KAE dan instansi pemerintah daerah.
Dari Kantor ke Hati: Sambutan Hangat dari Gereja
Hari itu, senyum lelah berubah menjadi semangat baru ketika perwakilan kelompok diterima langsung oleh RD. Renald, Ketua Komisi PSE KAE. Romo Renald menyambut mereka dengan tangan terbuka. Ia membaca dan mengoreksi proposal satu per satu bersama timnya, sambil memberikan masukan dengan penuh kesabaran.
“Proposal ini sejalan dengan visi kami tahun ini — Hak atas pangan untuk kehidupan dan masa depan yang lebih baik,” ujar Romo Renald. Ia menegaskan bahwa bantuan PSE bukan untuk membuat kelompok bergantung, tetapi mendorong kemandirian dan keberlanjutan. “Kami tidak memberikan ikan, kami memberikan mata kail. Kelompok harus belajar mengelola sumber daya sendiri. Keberlanjutan adalah kunci,” tambahnya.
Bagi para petani, ucapan itu bukan hanya nasihat, tapi pengakuan atas kerja keras mereka. Mereka merasa dilihat, didengar, dan diberi harapan.
Mengetuk Banyak Pintu
Tak berhenti di Komisi PSE, kelompok ProKlim juga menjalin komunikasi dengan berbagai dinas di Kabupaten Ende. Meski sebagian besar menyampaikan keterbatasan anggaran akibat kebijakan efisiensi dari pusat, sikap terbuka dan transparan dari instansi pemerintah menjadi bentuk dukungan moral yang berarti.
Kini, mereka menantikan hasil sidang Komisi PSE KAE pada November 2025. Namun bagi kelompok, keputusan akhir bukan lagi segalanya. Mereka sudah memperoleh sesuatu yang jauh lebih berharga — keberanian, pengetahuan, dan keyakinan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil.
Perjalanan kelompok ProKlim ini membuktikan bahwa perubahan tidak datang dari bantuan besar, melainkan dari semangat belajar dan kolaborasi. Dari desa-desa kecil di Ende, lahir kisah besar tentang harapan dan ketekunan.
Kini, “mata kail” itu sudah mereka genggam. Dan di tangan para petani itu, masa depan bumi dan pangan lokal pelan-pelan mulai dijaring — dengan doa, kerja keras, dan keyakinan bahwa setiap tetes keringat akan tumbuh menjadi buah perubahan.
Ende, Tananua Flores |Di lereng sejuk Kabupaten Ende, pada Sabtu pagi yang teduh, Sejumlah warga, tokoh adat, perempuan, pemuda, dan akademisi menyatu dalam satu semangat: merawat bumi, memelihara kehidupan. Di tengah krisis iklim global yang semakin mendesak, sebuah gerakan lokal tumbuh dari akar komunitas dengan kerja kolaborasi antara Tananua Flores, Universitas Flores, dan pemerintah desa melakukan aksi konservasi lintas desa.
Gerakan ini bukan sekadar bagian dari perayaan menyongsong 50 tahun Universitas Flores (5/7), melainkan representasi nyata bahwa cinta pada bumi harus dijalankan bersama, melampaui batas institusi dan generasi. Dengan mengusung tema “Merawat Bumi, Memelihara Kehidupan!”, aksi menanam pohon ini menyentuh empat desa di dua kecamatan yakni desa Detubela(140 orang) dan Mautenda Barat (148 orang)di Wewaria, serta desa Mbobhenga (196 orang) dan Malawaru (108 orang) di Nangapanda.
Dari kampus ke ladang, dari ruang kelas ke hutan, lebih dari 14.000 anakan pohon (Muntin, Merbau, Sengon, hingga durian) dibagikan. Sebanyak 2.189 anakan berhasil ditanam pada hari itu, menyebar di 16 titik konservasi strategis, mulai dari sumber mata air, kebun warga, hingga bantaran sungai.
Bagi Universitas Flores, ini bukan sekadar program pengabdian masyarakat. Ini adalah pengejawantahan dari filosofi Kampus Berdampak, di mana ilmu pengetahuan tidak berhenti di bangku kuliah. “Kami tidak hanya ingin mendidik di kelas, tetapi juga belajar bersama masyarakat, ikut membangun masa depan yang lebih lestari,” ujar Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Flores, Lori Gadi Djou, saat melakukan penanaman pohon di desa Detubela
Lori bahkan membayangkan satu desa Detubela menjadi ikon agrowisata lokal, yang dikenal bukan hanya karena konservasi, tetapi juga karena potensi ekonominya. “Bayangkan, kelak orang datang ke Detubela untuk makan durian. Itu bisa terjadi,” ujarnya penuh harap.
Di sisi lain, Tananua Flores memainkan peran vital sebagai jembatan antara kearifan lokal dan strategi ekologi modern. Ketua Pengurus Yayasan, Hironimus Pala, menekankan pentingnya memperkenalkan hutan keluarga sebagai solusi alternatif—memberi akses kayu bagi warga tanpa merusak hutan alam. “Ini adalah bentuk adaptasi terhadap krisis iklim, yang dampaknya paling dulu dirasakan petani di pelosok,” ungkapnya.
Kepemimpinan Ekologis dari Desa
Kesadaran ekologis tidak hanya datang dari kampus atau NGO, tetapi juga dari pemimpin desa. Kepala Desa Detubela, Eustakheus Kota, menjadi contoh kepemimpinan ekologis yang visioner. Ia memahami betul pentingnya menjaga dua mata air utama Lou dan Muru Menge yang tidak hanya menyuplai kebutuhan warganya, tetapi juga desa tetangga seperti Tanali dan Welamosa.
“Menjaga sumber air bukan untuk hari ini saja, tapi untuk anak cucu kita. Kalau kita rusak sekarang, ke depan kita sendiri yang susah,” ujarnya tegas.
Sementara itu kegiatan penanaman pohon juga dilakukan di Desa Malawaru, langkah bijak diambil dengan menunda sebagian penanaman hingga curah hujan mencukupi. Keputusan ini mencerminkan kedewasaan ekologis dan pengelolaan konservasi yang adaptif—bahwa merawat alam juga butuh kesabaran dan perhitungan jangka panjang. Desa Malawaru yang saat ini cuacanya mengalami kekeringan, Namun wujut nyata dalam gerakan ini tetap melakukan proses penanaman.
Salah satu kekuatan utama dari gerakan ini adalah Partisipatif. Tidak hanya para tokoh dan akademisi, tetapi juga perempuan dan pemuda terlibat aktif. Agnes Inemete (52), tokoh perempuan dari Malawaru, menyampaikan rasa syukurnya, “Saya merasa dihargai. Konservasi ini bukan hanya urusan orang penting, tapi juga urusan kami, para ibu.”
Semangat gotong royong yang mengalir dalam kegiatan ini membuktikan bahwa konservasi tidak hanya berbicara soal teknik, melainkan juga tentang ruang partisipasi dan keadilan sosial.
Tantangan ke depan tentu tidak kecil. Menanam hanyalah langkah awal. Pertanyaan krusial kemudian muncul: Siapa yang akan merawat? Bagaimana menjamin keberlanjutan?
Para inisiator sadar bahwa tanpa sistem pemeliharaan, pemantauan, dan dukungan kebijakan yang konsisten, upaya ini bisa kembali menjadi proyek sesaat. Dibutuhkan pelibatan sekolah, kelompok pemuda, tokoh agama, dan pembiayaan yang lebih stabil—tidak hanya menggantung pada hibah.
Tananua dan Universitas Flores tengah merintis jalan itu. Bukan sekadar seremoni tanam pohon, tapi model konservasi sosial-ekologis yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Bila upaya ini bisa dijadikan kebijakan desa atau bahkan replikasi lintas wilayah, maka harapan untuk perubahan sistemik bukanlah angan-angan.
Kolaborasi Bersama
Di tengah ladang, di pinggir hutan, dan di balik jemari tangan-tangan yang kotor oleh tanah basah, harapan itu tumbuh. Gerakan ini bukan milik satu lembaga, bukan milik satu tokoh. Ini milik semua akademisi, petani, ibu rumah tangga, pemuda desa.
Dan seperti pepatah bijak: “Siapa yang menanam, dia yang memetik.” Mungkin kita bukan yang akan menikmati rindangnya pohon ini. Tapi kelak, anak cucu akan berteduh di bawahnya.