Tiga Hari yang Menginspirasi di Wologai Dua: Menemukan Arti Pendampingan

Penulis : Maria Sisilia Virginia Wawo/ Staf YTNF

Ende Wologai Dua, —Tananua Flores | Tiga hari di Desa Wologai Dua menjadi perjalanan yang tak hanya mengubah cara pandang saya tentang pendampingan, tetapi juga menyalakan kembali semangat untuk bekerja dengan hati. Yayasan Tananua Flores (YTNF) menggelar Pertemuan Semesteral Petani pada tanggal 2–4 Oktober 2025, mempertemukan masyarakat tani dari 14 desa dampingan Program Peningkatan Hak Alam dan Hak Masyarakat (PHAM).

Bagi saya, ini adalah pengalaman pertama mengikuti kegiatan lapangan seperti ini. Sebelumnya, saya lebih akrab dengan data dan laporan di balik meja. Namun tiga hari di Wologai Dua menghadirkan babak baru dalam perjalanan saya bersama YTNF.

Sambutan Hangat di Tanah Adat

Kedatangan tim YTNF dan peserta dari tiga belas desa disambut hangat oleh tokoh adat dan masyarakat Wologai Dua. Tarian dan alunan gong gendang “Nggo Wani” khas Ende mengiringi langkah kami menuju panggung acara.
Suasana sakral terasa ketika seorang tetua adat menyambut kami dalam bahasa daerah yang penuh wibawa — bukan sekadar formalitas, melainkan tanda pengakuan dan penerimaan.

Kegiatan resmi dibuka oleh Kepala Desa Wologai Dua, disaksikan oleh Direktur YTNF, seluruh staf, Kepala Desa Jeo Dua, serta perwakilan pengurus LPHAM (Lembaga Perlindungan Hak Alam dan Hak Masyarakat), kelompok tani, dan para penghubung desa.
Tujuan utama pertemuan ini: mengevaluasi perjalanan enam bulan program dan merancang keberlanjutan — dengan fokus pada organisasi LPHAM, konservasi lingkungan (ulu ola), pertanian organik, kesehatan, dan ketahanan ekonomi masyarakat.

Pertemuan yang Penuh Kehangatan

Suasana di balai desa Mbani, ibu kota Desa Wologai Dua, terasa hidup. Tawa, semangat, dan juga keheningan reflektif bergantian mengisi ruangan.
Para peserta datang bukan dengan tangan kosong: mereka membawa hasil bumi — ubi, jagung, sayur, benih sorgum, pala, dan entres kakao.
Inilah simbol kedaulatan pangan dan semangat berbagi antar desa.

“Saya pikir evaluasi akan tegang,” gumam saya dalam hati. Namun ternyata, pertemuan ini lebih mirip ruang bicara dari hati ke hati.
“Kami datang untuk mencari solusi atas masalah di desa kami, juga untuk berbagi jika ada kelebihan,” ucap Bapak Darius Deki, Ketua LPHAM Desa Tenda.

Momen itu terasa dalam: setiap kisah yang dibagikan mengandung perjuangan, kegagalan, keberhasilan, dan keberanian menjaga hak-hak mereka sebagai penjaga alam.
“Dulu saya tak berani berbicara di depan banyak orang,” ujar Bapak Aurelius Ratu, penghubung Desa Tiwusora, “tapi sejak bergabung dengan kelompok, saya belajar dan kini saya bisa.”

Saya mulai memahami: pendampingan bukan tentang memberi jawaban, melainkan menemani masyarakat menemukan kekuatannya sendiri.

Menapak Jejak di Dusun Boro

Hari kedua, peserta dibagi dalam beberapa kelompok kecil untuk melakukan kunjungan ke tiga dusun: Mbani, Boro, dan Nuamue.
Saya bergabung dengan kelompok yang menuju Dusun Boro, berjarak sekitar tiga kilometer dari pusat desa.
Kunjungan ini bertujuan memperdalam diskusi mengenai lingkungan, konservasi mata air, dan ketahanan pangan.

Sambutan warga Boro begitu hangat. Kami mendengarkan kisah Bapak Tomas Teke, tokoh adat setempat, tentang kearifan lokal yang masih dijaga dengan teguh.
Ia menceritakan bagaimana setiap siklus pertanian terhubung dengan nilai adat — mulai dari pembakaran kebun, penanaman padi, hingga upacara panen “Mi Are” yang sarat makna.
“Inilah cara kami menjaga waka nga topo wolo tana watu — warisan leluhur yang harus kami titipkan pada generasi berikutnya,” ujarnya dengan nada tegas dan penuh kebanggaan.

Petani sebagai Guru

Yang paling mengesankan, para petani menjadi narasumber utama.
Bapak Nikolaus De Ja dari Desa Tonggopapa memimpin sesi berbagi tentang budidaya pala.
“Berjuang di kebun itu tak mudah, tapi pala adalah pohon bernilai ratusan tahun. Ia memberi keberlanjutan bagi keluarga,” katanya.

Setelah sesi diskusi, kami bergerak menuju mata air Ratendare. Di sana, masyarakat bersama tim YTNF menanam bibit pohon pelindung.
“Mata air ini bukan milik satu orang, tapi milik bersama — milik alam dan generasi mendatang,” ujar Bapak Don, tokoh adat Boro.

Tak berhenti di situ, kami melanjutkan aksi nyata dengan praktik P3S Kakao (pemangkasan, pemupukan, panen sering, dan sanitasi) serta pembuatan rorak, lubang fermentasi dedaunan hasil pemangkasan untuk konservasi lahan.
Saya tersadar: keberlanjutan bukan sekadar teori, melainkan sinergi antara nilai adat, inovasi pertanian, dan kerja bersama menjaga alam.

Menutup dengan Syukur dan Tawa

Tanggal 4 Oktober, seluruh peserta kembali ke balai desa untuk mempresentasikan hasil kunjungan, temuan, dan ide-ide baru.
Evaluasi berubah menjadi ruang berbagi penuh inspirasi. Kepala Desa Wologai Dua menutup kegiatan dengan pesan hangat dan ucapan terima kasih.

Namun suasana belum berakhir.
“Jangan pulang dulu, belum seru tanpa joget perpisahan,” ujar Bapak Valentinus Doa, tokoh penting desa.
Kami tertawa, lalu menuruti ajakan itu. Malam itu, di bawah langit Wologai Dua, staf, petani, orang tua, dan anak muda menari bersama. Musik, tawa, dan persaudaraan menjadi penutup yang sempurna.

Kami pulang keesokan harinya — bukan hanya membawa catatan evaluasi, tapi membawa keyakinan baru: bahwa pembangunan berkelanjutan lahir dari hati yang gembira dan jiwa yang bersatu.

Refleksi: Pendampingan yang Menghidupkan

Pekerjaan pendampingan adalah jembatan antara kearifan masa lalu dan harapan masa depan.
Meski saya bukan pendamping lapangan, pengalaman tiga hari ini memberi kesan mendalam: pendampingan bukan sekadar laporan atau data, tetapi tentang menumbuhkan kader, ilmu, dan harapan di antara para petani.

Kini, meskipun saya kembali bekerja di belakang meja, semangat itu tetap menyala.
Saya siap melanjutkan peran kecil saya, dengan hati yang lebih peka dan mata yang telah melihat: bahwa perubahan besar sering dimulai dari langkah-langkah sederhana — dari desa yang bernama Wologai Dua.

Sampai jumpa di pertemuan semesteral berikutnya. Tujuan selanjutnya: Desa Jeo Dua.

Tiga Hari yang Menginspirasi di Wologai Dua: Menemukan Arti Pendampingan Read More »

Belajar Pertanian Organik di Tou Barat: Tantangan dan Solusi

Ende, Kota Baru – Tananua Flores. Desa Tou Barat, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende, menjadi tuan rumah kegiatan kunjungan belajar pertanian organik dan cerdas iklim pada 21–22 Agustus 2025. Dengan mengusung tema “Berbagi Itu Asik dan Lestari Sambil Bermesraan dengan Alam”, kegiatan ini menghadirkan pengalaman belajar langsung bagi para petani setempat.

Dari sharing pembelajaran dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warga Tou Barat menggantungkan hidup pada kebun kakao, tanaman pangan, dan hortikultura. Lahan mereka masih subur, namun mulai terancam akibat praktik pertanian intensif pada masa lalu. Kegiatan ini dinilai relevan untuk membangun kesadaran baru tentang cara bertani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Kepala Desa Tou Barat, Frans Seda, dalam sambutannya menekankan pentingnya peran petani.

“Pejabat bisa berganti, tapi petani selalu hadir memastikan ketersediaan pangan bagi seluruh umat manusia,” ujarnya.

Menurutnya, profesi petani merupakan panggilan hidup yang mulia dan perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Tantangan Perubahan Iklim

Manajer Program Tananua Flores, Heribertus Se, menyoroti persoalan perubahan iklim yang semakin nyata. Ia menyebut ketidakpastian musim, kekeringan, banjir, dan serangan hama sebagai tantangan besar yang dihadapi petani saat ini.

“Pertanian cerdas iklim bukan pilihan, melainkan keharusan. Desa Tou Barat punya kekuatan khas. Dengan belajar bersama, kita bisa melahirkan inovasi yang relevan bagi masa depan,” jelasnya.

Heribertus juga mendorong keberanian petani untuk saling berbagi pengalaman. Menurutnya, berbagi merupakan jalan menuju kekuatan bersama dalam menghadapi tantangan pertanian.

Kegiatan belajar pertanian organik di isi dengan materi-materi ini yang merupakan kehidupan dunia pertanian antara teori, Praktik dan juga refleksi pengalaman dari masing-masing individu. Dalam Sesi inti ini dibawakan oleh Benyamin, praktisi pertanian organik. Ia memaparkan lima strategi penting:

  1. Menggunakan varietas unggul tahan iklim ekstrim.
  2. Melakukan pemupukan berimbang dengan pupuk organik.
  3. Mengelola sumber daya air secara bijak.
  4. Mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia dengan ramuan alami.
  5. Melakukan diversifikasi tanaman untuk menjaga ketahanan ekonomi keluarga.

Peserta menilai materi tersebut tidak hanya sebatas teori, tetapi langsung menyentuh realitas kehidupan mereka sehari-hari.

Jaga Tanah Leluhur

Di akhir kegiatan, Heribertus mengingatkan pentingnya menjaga tanah dan air dari ancaman proyek besar yang merusak lingkungan.

“Tuhan titipkan tanah ini untuk dikelola dengan baik. Mari kita jaga tanah leluhur dari proyek multinasional yang merusak lingkungan,” katanya.

Kepala Desa Frans Seda menambahkan pesan kuat kepada masyarakatnya.

“Orang luar saja mau belajar di desa ini. Masa kita, masyarakat sendiri, menyia-nyiakan pengetahuan yang kita miliki? Mari kita kembangkan, demi anak cucu, demi tanah leluhur kita, demi bangsa,” tegasnya.

Kunjungan belajar di Tou Barat bukan sekadar pertemuan singkat, melainkan proses membangun kesadaran bersama. Kegiatan ini menekankan bahwa perubahan dapat dimulai dari langkah kecil: menanam pohon, merawat tanah, berbagi pengalaman, dan mencintai kebun. Tou Barat kini memiliki cerita baru. Dari desa kecil dengan infrastruktur terbatas, ia tumbuh menjadi ruang pembelajaran bagi banyak orang. Dari petani sederhana, lahir guru kehidupan yang menyalakan harapan untuk masa depan pertanian yang lebih hijau, adil, dan lestari.

Ditulis : HS

Belajar Pertanian Organik di Tou Barat: Tantangan dan Solusi Read More »

Menjaga Laut, Menyulam Harapan

Cerita Pendampingan Nelayan di Kecamatan Ndori
Oleh: Agnes Ngura – Yayasan Tananua Flores

Ende, Tananua Flores | 21 Agustus 2025, Di suatu sore berangin di Desa Maubasa, Kecamatan Ndori, suara anak-anak yang berlari di bibir pantai berpadu dengan sorak nelayan yang baru pulang melaut. Dari balik anyaman jala yang dijemur, tercium aroma asin khas laut yang selalu menemani kehidupan masyarakat pesisir. Bagi mereka, laut bukan sekadar hamparan biru, tetapi sumber hidup yang diwariskan dari leluhur.

Pada Juni 2021, saya mendapatkan tugas dari Yayasan Tananua Flores untuk melakukan pendampingan masyarakat nelayan di wilayah ini. Empat desa pesisir menjadi fokus kegiatan—Maubasa, Maubasa Timur, Serandori, dan Maubasa Barat. Namun, langkah awal saya tertuju terutama pada Desa Maubasa.

Tugas pertama adalah mengumpulkan data dasar. Dari hasil pendataan, saya menemukan jumlah nelayan gurita masih sedikit. Hanya ada 4 nelayan laki-laki dan 1 nelayan perempuan di Maubasa. Di Maubasa Timur, terdapat 4 laki-laki dan 2 perempuan. Serandori hanya punya 1 orang nelayan gurita, sementara pengepul gurita ada 2 orang—seorang perempuan di Maubasa dan seorang laki-laki di Maubasa Timur.

Data sederhana itu menjadi pintu masuk bagi pendampingan berikutnya. Yayasan Tananua lalu memfasilitasi pelatihan pembuatan alat pancing gurita yang ramah lingkungan, sekaligus memetakan lokasi tangkap gurita. Dari sini, nelayan mulai melihat bahwa laut mereka perlu dijaga agar tidak habis dikuras.

Pada Agustus 2021, dua enumerator direkrut—satu laki-laki di Maubasa, satu perempuan di Maubasa Timur—untuk mencatat hasil tangkapan gurita setiap hari. Catatan yang berlangsung hingga November 2021 membuka fakta pahit: tangkapan nelayan lokal sangat rendah dibandingkan nelayan pendatang dari Kabupaten Sikka yang menetap di wilayah itu.

Situasi ini menyadarkan kami bahwa ancaman nyata ada di depan mata. Tanpa langkah cepat, nelayan lokal bisa kehilangan sumber penghidupan.

Dari diskusi ke Aksi Bersama

Menyadari tantangan tersebut, kami memfasilitasi diskusi lintas desa. Hasilnya, terbentuklah Kelompok Kerja LMMA (Locally Managed Marine Area) beranggotakan 20 orang dari empat desa. Mereka bukan hanya kelompok kerja, tapi juga jembatan komunikasi antara masyarakat, pendamping, dan pemerintah.

Di forum-forum kecil, kami mulai membicarakan gagasan penutupan sementara lokasi tangkap gurita. Tidak mudah. Banyak nelayan menolak karena khawatir kehilangan mata pencaharian. Maka, strategi berubah: kami datang ke rumah-rumah, berbincang sambil duduk di teras, menjelaskan manfaat jangka panjang.

Perlahan, kepercayaan tumbuh. Pada Mei 2022, nelayan sepakat: “Kami coba tutup laut kami.”

Tanggal 15 Juni 2022 menjadi tonggak bersejarah. Seluas 410,18 hektar laut ditutup dari aktivitas penangkapan gurita hingga tiga bulan ke depan. Ritual adat “Kuwi Roe” mengawali penutupan, dipimpin oleh tokoh adat sebagai penghormatan pada leluhur dan penghuni laut.

Saat wilayah dibuka kembali pada 15 September 2022, empat nelayan pertama turun melaut. Hanya dalam 30 menit, mereka berhasil menangkap 4 ekor gurita dengan berat rata-rata lebih dari 1 kilogram. Kabar itu cepat menyebar. Nelayan lain bersemangat. Hasil tangkapan meningkat, keyakinan pun menguat: laut yang dijaga akan kembali memberi.

Dari Keberhasilan ke Gerakan Bersama

Karena sukses penutupan pertama, masyarakat sepakat melakukan penutupan kedua. Dimulai Desember 2022, seluas 136,946 hektar laut kembali dijaga. Saat dibuka pada Februari 2023, hasil tangkapan lebih melimpah.

Sejak itu, pola penutupan sementara menjadi kebiasaan baru. Hingga kini, Kecamatan Ndori sudah melaksanakan 11 kali penutupan dengan sistem bergilir. Setiap kali satu lokasi dibuka, lokasi lain ditutup. Jadwal tiga bulanan ini membuat laut terus beristirahat dan pulih.

Dampaknya luar biasa. Jumlah nelayan gurita melonjak: Maubasa kini punya 45 nelayan, Maubasa Timur 30 nelayan, Serandori 16 nelayan. Pada pembukaan penutupan ke-7, hasil tangkapan hari pertama mencapai 972 kilogram gurita, bahkan ada yang berbobot 4,7 kilogram per ekor.

Menuju Komitmen Lebih Besar

Keberhasilan demi keberhasilan membawa pada keputusan berani: penutupan permanen. Nelayan, tokoh adat, pemerintah desa, hingga Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT menyepakati tiga lokasi—Nusa Ria, Nusa Te’e, dan Watu Magi—dengan luas total 101,214 hektar.

Keputusan ini menunjukkan bahwa nelayan Ndori telah melangkah lebih jauh. Mereka bukan hanya menjaga laut untuk hari ini, tetapi juga untuk anak cucu.

Pendampingan ini mengajarkan satu hal: perubahan tidak lahir dari intervensi semata, melainkan dari kesediaan masyarakat menjadi aktor utama. Data, pelatihan, diskusi, dan ritual adat hanyalah jembatan. Inti kekuatan ada pada nelayan yang percaya bahwa laut bisa pulih jika dijaga bersama.

Di Kecamatan Ndori, laut bukan hanya sumber ekonomi. Ia adalah ruang budaya, ruang doa, dan ruang harapan. Dan di balik setiap gurita yang diangkat dari karang, tersimpan cerita panjang tentang perjuangan menjaga laut agar tetap memberi kehidupan. semoga

Menjaga Laut, Menyulam Harapan Read More »

Memperkuat Kelembagaan dan Strategi Aksi Komunitas dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan

Ende,Wolooja – 30 Januari 2025 – Di aula Desa Wolooja, suasana tampak penuh antusiasme saat masyarakat berkumpul untuk mengikuti kegiatan fasilitasi perencanaan dan penyusunan Anggaran Dasar (AD) serta Anggaran Rumah Tangga (ART) LPHAM Nua Lima. Kegiatan ini menjadi momentum penting dalam memperkuat kelembagaan dan strategi aksi komunitas guna menjaga kelestarian lingkungan.

Acara ini dibuka oleh Anton Kota, Kepala Desa Wolooja, yang menekankan pentingnya kegiatan ini sebagai langkah strategis dalam mengorganisir komunitas untuk perlindungan lingkungan yang berkelanjutan. “Kita harus memiliki dasar yang kuat agar lembaga ini bisa berjalan dengan baik dan benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat,” ujarnya.

Kegiatan ini difasilitasi oleh staf Program Peningkatan Hak Alam dan Hak Warga, bekerja sama dengan Yayasan Tananua Flores dan Yayasan Planet Indonesia. Oskar Nanga Nai, salah satu fasilitator, memaparkan beberapa poin utama dalam kegiatan ini, di antaranya:

  1. Penyusunan AD/ART LPHAM Nua Lima
    • Menyepakati visi, misi, dan tujuan organisasi.
    • Menentukan struktur organisasi dan mekanisme kerja.
    • Menyusun aturan internal guna menjaga keberlanjutan kelompok.
  2. Sosialisasi Penggunaan Input Luar
    • Menjelaskan dampak negatif penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetis terhadap kesehatan tanah dan ekosistem.
    • Mendorong praktik pertanian berbasis lokal yang lebih ramah lingkungan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan-bahan kimia.
  3. Refleksi Bersama Masyarakat: Pengaruh Lahan Kritis
    • Diskusi kelompok untuk menggali kondisi lahan yang semakin terdegradasi serta faktor penyebabnya.
    • Identifikasi dampak terhadap hasil pertanian dan ketersediaan air.
    • Perancangan aksi bersama untuk rehabilitasi lahan, seperti reboisasi, sistem agroforestri, dan pembuatan terasering.

Hasil dari kegiatan ini cukup signifikan. Kini, LPHAM Nua Lima memiliki AD/ART yang jelas, masyarakat semakin memahami risiko penggunaan input luar yang tidak bijak, dan telah ada rencana aksi nyata untuk mengatasi permasalahan lahan kritis di Desa Wolooja.

Suara Petani: Menyadari Perubahan Lingkungan

Dalam sesi refleksi, Bapak Frans, seorang petani senior, berbagi pengalaman mengenai perubahan kondisi tanah di desanya. “Dulu, menanam jagung atau ubi tidak perlu banyak pupuk, tapi hasilnya tetap melimpah. Sekarang, tanah semakin keras, air sulit meresap, dan tanpa pupuk dari toko, tanaman sulit tumbuh subur. Saya baru sadar bahwa ini karena tanah kita sudah lelah,” ungkapnya.

Pernyataan ini membuka diskusi lebih dalam mengenai dampak penggunaan pupuk kimia yang berlebihan serta minimnya praktik konservasi tanah. Dari hasil refleksi ini, masyarakat sepakat untuk mengambil langkah konkret, seperti:

  • Mencoba teknik pupuk organik berbahan lokal.
  • Menerapkan sistem tumpangsari untuk memperbaiki kualitas tanah.
  • Mengaktifkan kembali praktik konservasi air dan tanah, seperti pembuatan terasering dan sumur resapan.

Longginus S. Gebo, Ketua LPHAM Nua Lima, menambahkan bahwa keterlibatan kaum muda dan perempuan dalam pelestarian lingkungan sangat penting. Ia mengusulkan agar setiap rumah tangga mulai memanfaatkan limbah dapur untuk kompos dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.

“Kita ini yang paling sering di kebun, paling tahu kalau tanahnya makin susah ditanami. Jadi kita juga harus ikut berbuat sesuatu,” katanya penuh semangat.

Diskusi ini semakin menguatkan kesadaran kolektif bahwa perubahan harus dimulai dari masyarakat sendiri. Dengan komitmen yang telah disepakati, LPHAM Nua Lima diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian tanah dan sumber daya alam di Desa Wolooja. Kini, harapan baru telah tumbuh, dan langkah konkret telah disiapkan untuk masa depan lingkungan yang lebih lestari.

Oleh: Oskar Nanga Nai
Staf Pendamping Program Peningkatan Hak Alam dan Hak Warga
Desa Wolooja dan Desa Detubela – Kecamatan Wewaria

Memperkuat Kelembagaan dan Strategi Aksi Komunitas dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Read More »

Menjaga Alam, Merawat Harapan

Di antara perbukitan hijau di perbatasan Kabupaten Ende dan Sikka, terdapat kisah perjuangan dan harapan yang lahir dari masyarakat Desa Tiwusora dan Liselande. Pada tanggal 24 Januari 2025, di tengah tantangan alam yang berat, mereka berjuang untuk mempertahankan kelestarian lingkungan demi masa depan yang lebih baik.

Pagi itu, Okto Pega, seorang staf pendamping Program Peningkatan Hak Alam dan Hak Warga, bersama sekelompok warga bersiap memulai perjalanan panjang. Misi mereka jelas: mendistribusikan peralatan konservasi dan materi edukasi lingkungan yang mendukung keberlanjutan alam desa mereka. Namun, perjalanan ini bukan sekadar membawa barang—ini adalah langkah nyata dalam menjaga warisan leluhur.

Menembus Hutan, Mengarungi Sungai
Dengan semangat yang menyala, mereka menapaki jalan berbatu dan menanjak, menembus hutan yang masih diselimuti kabut pagi. Langkah demi langkah, mereka menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya ujian fisik, tetapi juga ujian kesabaran dan kebersamaan.

Salah satu tantangan terbesar muncul ketika mereka harus menyeberangi sungai yang debit airnya meningkat akibat hujan semalam. Dengan tali sebagai pegangan, mereka bergantian menyeberang, memastikan keselamatan setiap anggota rombongan. Tak jauh dari sana, seorang pemuda hampir terjatuh saat motor yang ia kendarai kehilangan keseimbangan di jalan curam. Beruntung, seorang lainnya dengan sigap membantunya.

“Ini bukan pertama kali kami menghadapi medan seperti ini,” ujar Pak Okto sambil tersenyum. “Tapi selama kita bersama, tantangan akan selalu terasa lebih ringan.”

Refleksi di Tengah Perjalanan
Di sebuah bukit kecil, mereka berhenti sejenak untuk beristirahat. Dari sana, hamparan hutan hijau membentang luas, sungai berkelok-kelok di kejauhan, dan lembah masih berselimut kabut. Keindahan yang memanjakan mata itu menyimpan pesan mendalam.

Stevanus Sora, seorang anggota patroli alam, duduk memandangi pemandangan itu. Dengan suara pelan, ia berkata, “Kalau kita tidak menjaga ini, mungkin lima tahun lagi pemandangan ini hanya tinggal cerita.”

Kata-kata itu menggema di hati mereka. Alam yang mereka cintai bukan hanya tempat hidup, tetapi juga identitas dan masa depan yang harus dijaga.

Tiba di Tujuan, Merajut Asa
Setelah berjam-jam berjalan, mereka tiba di desa. Warga yang telah menunggu menyambut mereka dengan hangat. Tanpa membuang waktu, mereka segera membagikan barang-barang, mulai dari power drill, gentong air, hingga terpal untuk keperluan konservasi tanah.

Di bawah pohon beringin besar, pertemuan spontan pun digelar. Warga berdiskusi tentang bagaimana menjaga hutan tetap hijau, mata air tetap mengalir, dan tanah tetap subur.

Seorang pemuda desa, Deodatus Ngera, mengangkat tangan dan berkata, “Dulu, nenek moyang kita menjaga tanah ini dengan doa dan kerja keras. Sekarang, kita yang bertanggung jawab. Jangan sampai anak cucu kita hanya mendengar cerita tentang hutan, tetapi tak bisa lagi melihatnya.”

Harapan yang Tak Pernah Padam
Perjalanan panjang itu melelahkan, tetapi semangat kebersamaan membuatnya terasa ringan. Di perbatasan Kabupaten Ende dan Sikka, di antara rimbunnya pepohonan dan semilir angin gunung, harapan baru telah lahir.

Bagi masyarakat Desa Tiwusora dan Liselande, perjuangan ini bukan sekadar tentang mereka, tetapi tentang masa depan generasi yang akan datang. Mereka mungkin tidak memiliki banyak harta, tetapi mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga: hutan, air, dan tanah yang harus tetap hidup.

Dan selama masih ada harapan, perjuangan ini akan terus berlanjut.

Oleh: Okto Pega
Staf Pendamping Program Peningkatan Hak Alam dan Hak Warga
Desa Liselande dan Tiwusora, Kecamatan Kotabaru

Menjaga Alam, Merawat Harapan Read More »

Translate »