Kemitraan World Neighbors Dan KLHK-RIDalam Penguatan Adaptasi Perubahan Iklim di Nusa Tenggara

Denpasaar, Tananua Flores| World Neighbors (WN) adalah lembaga internasional non-pemerintah yang berdiri pada tahun 1951 di Oklahoma City, Amerika Serikat. Sebagai organisasi non-sektarian, non-politik, dan nirlaba, WN berkomitmen memperkuat kapasitas masyarakat marginal di wilayah perdesaan. Melalui pendekatan pemberdayaan, WN mendorong terciptanya solusi inovatif dan berkelanjutan untuk mengatasi berbagai persoalan mendasar, seperti kemiskinan, kelaparan, degradasi sumber daya alam, serta meningkatnya kerentanan lingkungan. Fokus utama program WN meliputi peningkatan kapasitas lokal, penguatan kelembagaan masyarakat, dan penerapan praktik adaptasi serta mitigasi perubahan iklim.

1. Kerja Sama WN dan KLHK-RI

Kemitraan antara World Neighbors dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK-RI) berlangsung dalam dua periode:

  1. April 2015 – April 2018
  2. November 2018 – November 2021

Pada periode kedua, melalui Memorandum Saling Pengertian (MSP), ditetapkan program berjudul:

“Program Terpadu Pengarusutamaan Adaptasi Perubahan Iklim untuk Menurunkan Kerentanan Masyarakat Perdesaan di Wilayah Nusa Tenggara.”

Program ini bertujuan untuk:

  1. Menurunkan kerentanan masyarakat perdesaan.
  2. Meningkatkan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam.
  3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Ketiga tujuan tersebut selaras dengan RPJMN 2020–2024, Rencana Strategis KLHK 2020–2024, serta komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

2. Peran BPPI dan Kolaborasi Daerah

Keberadaan Balai Pengendalian Perubahan Iklim (BPPI) sebagai UPT KLHK di Lombok yang bekerja sama erat dengan DLHK Provinsi memberikan kontribusi besar bagi penguatan Program Kampung Iklim (ProKlim) di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Kolaborasi tersebut diwujudkan melalui:

  • Pendampingan intensif bersama DLH kabupaten dan mitra WN,
  • Kunjungan lapangan rutin untuk memberikan motivasi, bimbingan teknis, dan dukungan moral,
  • Penguatan kapasitas kampung-kampung ProKlim menuju kategori ProKlim Lestari.

Pembelajaran penting dari kolaborasi ini menunjukkan bahwa keberhasilan ProKlim tidak hanya bergantung pada kebijakan dan anggaran, tetapi juga pada:

  • Konsistensi pendampingan lapangan,
  • Kolaborasi antar-lembaga di berbagai tingkatan,
  • Partisipasi aktif masyarakat.

Model kerja sama ini dapat direplikasi sebagai praktik baik di wilayah lainnya.

3. Penguatan Kapasitas Lokal melalui Pelatihan PI dan PRB

Pelatihan mengenai Perubahan Iklim (PI) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang diberikan kepada pemerintah desa, lembaga desa, serta unsur masyarakat terbukti meningkatkan pengetahuan dan kesadaran lokal dalam menghadapi risiko iklim. Pelatihan ini menjadi fondasi penting bagi pengembangan perencanaan adaptasi berbasis komunitas.

4. Dampak El Niño 2023 terhadap Ketahanan Masyarakat

Fenomena El Niño 2023 memberikan dampak signifikan di wilayah Nusa Tenggara, antara lain:

  • Krisis dan kelangkaan air bersih,
  • Penurunan ketersediaan pangan,
  • Kematian tanaman umur panjang,
  • Kebakaran lahan dan hutan (terutama di Sumba Timur),
  • Terancamnya ketahanan pangan dan mata pencaharian masyarakat.

Dampak ini menegaskan lemahnya daya adaptasi ekosistem lokal dan semakin menguatkan urgensi intervensi lintas sektor untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.


5. Serangan Hama Belalang dan Kerentanan Ganda

Serangan hama belalang di Sumba Timur semakin memperburuk kondisi masyarakat. Kerusakan tanaman pangan dan kegagalan panen diperparah oleh kemarau panjang, sehingga:

  • Stok pangan rumah tangga menurun drastis,
  • Pendapatan petani melemah,
  • Terjadi kerentanan ganda terhadap pangan dan ekonomi.

Menghadapi situasi ini diperlukan langkah-langkah strategis, seperti:

  • Pengendalian hama terpadu,
  • Penguatan cadangan pangan lokal,
  • Peningkatan kapasitas perencanaan adaptasi iklim berbasis komunitas.

Kemitraan World Neighbors Dan KLHK-RIDalam Penguatan Adaptasi Perubahan Iklim di Nusa Tenggara Read More »

Pengembangan Usaha Mikro Sebagai Upaya Adaptasi Perubahan Iklim

Oleh: Arnoldus Rada Mage (YTNF, Ende, NTT)

Ende, Tananua Flores | Di Desa Ja Mokeasa, Kabupaten Ende, denyut kehidupan petani berpacu dengan perubahan musim yang tak menentu. Langit yang dulu dapat dibaca dengan kearifan lama, kini kerap berubah arah. Namun, dari tanah pegunungan yang subur itu, tumbuh pula semangat baru — semangat inovasi dan daya tahan yang lahir dari kebersamaan, cinta tanah, serta bimbingan Yayasan Tananua Flores (YTNF) dengan dukungan World Neighbors (WN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI).

Di tengah tantangan iklim yang mengguncang, para perempuan desa bangkit dengan tangan mereka sendiri, menanam harapan dalam setiap rumpun sayur, dan memupuk keteguhan hati melalui usaha mikro hortikultura yang ramah lingkungan. Kisah Mama Thresia Ima dan kelompok UBSP menjadi saksi bahwa adaptasi bukan sekadar bertahan, tetapi juga berinovasi. Dengan pupuk organik, pestisida nabati, dan kerja kolektif yang berakar dari kearifan lokal, mereka menumbuhkan ketahanan pangan, memperkuat ekonomi keluarga, dan menyalakan obor inspirasi bagi seluruh komunitas desa.

Kondisi awal lahan kelompok  sebelum ada intervensi dari pendamping YTN F

Jejak Desa di Lereng Bukit

Desa Ja Mokeasa lahir dari rahim Desa Mbotutenda pada tahun 1997 dan menjadi desa definitif pada 15 Oktober 2012. Dari Kota Ende, jaraknya sekitar 28 kilometer, ditempuh dalam satu jam perjalanan melewati jalan berkelok yang menanjak dan menurun. Desa ini berada di ketinggian 727 meter di atas permukaan laut, dikelilingi pegunungan, bukit, dan dataran rendah yang subur — tanah yang cocok bagi segala jenis tanaman, terutama hortikultura.

Namun, perubahan iklim membuat para petani seolah kehilangan kompas. Hujan turun tak menentu, matahari menyengat di waktu yang tak biasa. Dari kegelisahan itu, tumbuh kesadaran baru: bahwa alam tidak bisa dilawan, tetapi bisa diajak berdamai. Petani belajar membaca tanda-tanda, menyesuaikan waktu tanam, dan memilih jenis tanaman yang sesuai dengan perubahan cuaca.

Pendampingan yang Menumbuhkan Harapan

Program pendampingan dari Yayasan Tananua Flores bersama World Neighbors dan KLHK RI menumbuhkan daya tahan baru di enam desa sasaran. Di Ja Mokeasa, terbentuklah Kelompok UBSP pada 1 Maret 2023, beranggotakan 21 orang — satu laki-laki dan dua puluh perempuan. Modal awal kelompok sebesar Rp 4.615.000, hasil dari simpanan pokok, wajib, dan sukarela anggota. Dana ini diputar kembali untuk usaha mikro dan kebutuhan keluarga, terutama untuk pengembangan kebun sayur.

Desa di ketinggian ini memang anugerah bagi pertanian. Dari lahan yang sejuk itu tumbuh terung, buncis, sawi, kangkung, dan cabai. Dalam satu musim tanam yang singkat, hasil panen bisa mendatangkan keuntungan hingga setengah juta rupiah, dan untuk tanaman tahunan seperti cabai dan terung, bisa mencapai satu juta rupiah. Sebagian hasil dijual, sebagian lagi dibagikan dan dikonsumsi bersama tetangga — menanam bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk berbagi.

Perempuan-perempuan Penanam Harapan

Dua nama mencuat dari kelompok UBSP: Mama Thresia Ima (Mama Tres) dan Mama Yasinta Leta (Mama Ayu). Mereka bukan sekadar petani, melainkan penabur semangat bagi yang lain. Mama Tres memandang perubahan iklim bukan sebagai ancaman, tetapi tantangan untuk berinovasi. Ia mengolah sisa tanaman dan kotoran ternak menjadi pupuk organik, meramu daun pepaya dan daun kerinyu menjadi pestisida alami. Dari kebun kecilnya, tumbuh sayuran subur yang tak hanya memberi hasil, tapi juga menjaga keseimbangan bumi.

“Dulu kami belajar dari alam, kini kami kembali berdamai dengannya,” tutur Mama Tres.
Usahanya membuahkan hasil nyata. Dari lahan yang sederhana, ia meraih pendapatan hingga Rp 3.600.000 per musim tanam. Sawi, kangkung, dan buncisnya laku di Pasar Wolowona dan desa tetangga, Raburia. Hasil panen bukan hanya untuk dijual, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, agar meja makan selalu terisi sayuran sehat tanpa bahan kimia.

Pupuk dari Alam, Panen dari Hati

Bagi Mama Tres, pupuk bukanlah benda yang dibeli, melainkan hasil dari kreativitas. Ia mencampur dedaunan dan air beras, memfermentasikannya tiga hari hingga berubah menjadi cairan subur. Ia percaya, kesuburan tanah adalah kesuburan kehidupan. Dengan alat seadanya, ia menyiapkan bedengan, menggemburkan tanah, dan menanam benih dengan penuh cinta.

“Tanah harus kita rawat seperti tubuh kita sendiri,” katanya lembut sambil tersenyum.

Dari kebun itu pula, Mama Tres membiayai kebutuhan keluarga. Ia bahkan menyiapkan acara sambut baru anaknya tanpa harus berutang, hasil dari panen sayur yang ia kelola sendiri. Dari sawi dan kangkung ia peroleh Rp 1.500.000, dari terung Rp 2.500.000, dan dari buncis Rp 1.200.000. “Itu hasil nyata,” ujarnya bangga, “meski sering saya beri bonus bagi yang membeli langsung di kebun.”

Menanam untuk Desa, Bukan Sekadar untuk Diri

Walau tidak semua anggota mampu menjalankan usaha bersama karena kesibukan rumah tangga dan lahan pribadi, semangat individu tetap menyala. Beberapa warga mulai membuka kios sembako dan usaha kecil lainnya. Dari langkah-langkah kecil itu, tumbuh kemandirian baru di tengah perubahan besar.

Mama Tres menutup kisahnya dengan pesan yang sederhana namun dalam maknanya:

“Saya berharap, kita para petani tidak lagi membeli sayur, tapi memproduksinya sendiri. Jangan pikir harus banyak, mulai saja dari yang kecil. Jangan dulu bermimpi menjual ke luar desa — penuhi dulu kebutuhan di dalam desa kita. Bila tanah kita subur, orang luar akan datang mencari hasil dari desa ini.”

Kisah Desa Ja Mokeasa adalah kisah keteguhan dan pembelajaran. Di tengah ketidakpastian iklim, tumbuh kepastian lain: bahwa manusia mampu beradaptasi bila ia mau belajar, berkolaborasi, dan mencintai alamnya. Dari kebun kecil di lereng bukit, lahir harapan besar untuk masa depan yang lestari.

Kunjungi Artikel kami

Pengembangan Usaha Mikro Sebagai Upaya Adaptasi Perubahan Iklim Read More »

Translate »