Siaran Pers

Perda Penyelenggaraan Pangan Ditetapkan, Tananua Flores Memberikan Apresiasi kepada DPRD dan Pemerintah Kabupaten Ende.

Ende, Tananua Flores |  Rancangan Peraturan Daerah terkait dengan penyelenggaraan Pangan di kabupaten Ende  berhasil ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat  Daerah ( DPRD)kabupaten Ende, pada  sidang paripurna jumat (16/12/2022) sore. 

Rancangan peraturan Daerah penyelenggaraan Pangan tersebut adalah buah hasil kerja sama antara DPRD Ende dan Pemerintah kabupaten Ende dalam melindungi  kearifan budaya lokal dan perlindungan terhadap pangan lokal. 

Penetapan Peraturan tersebut mengundang banyak apresiasi  dari masyarakat petani dan nelayan di desa-desa atas sebuah kerja keras. 

Hironimus Pala, Ketua pengurus Yayasan Tananua Flores juga memberikan apresiasi kepada pemerintah dan DPRD Ende atas penetapan peraturan penyelenggaraan pangan dan peraturan pengelolaan keuangan daerah. 

“ kami secara lembaga dan juga dari desa-desa dampingan Kami, memberikan apresiasi kepada DPRD Ende atas penetapan peraturan tersebut”, ujarnya. 

Hironimus menjelaskan bahwa Perda penyelenggaraan pangan adalah peraturan yang dapat melindungi persoalan pangan yang ada pada petani dan nelayan. 

“ Petani dan nelayan mendorong peraturan yang melindungi pangan ini sudah lama, maka dengan penetapan sebuah peraturan ini, kami sangat berterima kasih dan apresiasi penuh kepada pengambil kebijakan di daerah ini ”, katannya. 

Harapannya bahwa dengan perda ini, pangan petani dan nelayan sudah bisa dilindungi dan dilestarikan, dan kepada pemerintah melalui bupati bisa membuat aturan turunannya*** 

 

Perda Penyelenggaraan Pangan Ditetapkan, Tananua Flores Memberikan Apresiasi kepada DPRD dan Pemerintah Kabupaten Ende. Read More »

Pelepasan Pelampung penutupan

Siaran Pers  : Penutupan sementara Lokasi tangkap Gurita di Desa kotodirumali kecamatan Keo tengah kabupaten  Nagekeo

Kegiatan Sosiasliasi Implementasi Penutupan
Kegiatan Sosialisasi Implementasi Penutupan

Siaran Pers 

Penutupan sementara Lokasi tangkap Gurita di Desa kotodirumali kecamatan Keo tengah kabupaten  Nagekeo 

Nagekeo  10 Juni 2022 |  Kawasan konservasi perairan laut merupakan kawasan perairan yang dilindungi dan dikelola dengan sistem zonasi dengan untuk tujuan menjaga kelestarian serta pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.  Dalam mengelola ruang laut model konservasi dilakukan melalui system buka tutup lokasi tangkap. Desa Kotodirumali ditentukan menjadi pelaksana penerapan sistem buka tutup ini. Secara topografis desa Kotodirumali letaknya berada di wilayah selatan kabupaten Nagekeo, memiliki wilayah laut dan bentang alam  yang cukup luas, dengan jarak tempuh dari Kota ke desa kurang lebih 2,5 jam. 

Pada awal pelaksanaan program, Yayasan Tananua Flores bersama kelompok nelayan gurita bersama pemerintah desa Kotodirumali dan pemerintah kecamatan Keo tengah menerapkan sistem buka tutup lokasi tangkap.  

Dalam menjaga kelestarian serta pemanfaatan  Sumber daya alam di wilayah desa kotodirumali , Pemerintah desa dan Para nelayan yang didampingi Yayasan Tananua Flores Membentuk kelompok pengelola perikanan secara berkelanjutan.  Kelompok tersebut dinamai LMMA (Locally Managed Marine Area )  yang berada di dua desa yaitu desa Kotodirumali dan Desa Podenura kecamatan keo tengah dan kecamatan Nangaroro, kabupaten nagekeo  Nusa Tenggara Timur. 

LMMA merupakan kelompok kerja yang mengelola wilayah kelautan secara lokal dengan mengorganisir para nelayan untuk menjaga ekosistem, mengawasi pelaksanaan sistem buka tutup area tangkapan gurita, menjalin kerjasama dengan mitra untuk upaya-upaya pengelolaan perikanan gurita secara berkelanjutan di wilayah Kecamatan Keo tengah.

Penerapan buka tutup lokasi tangkapan gurita desa kotodirumali yang dilaksanakan sedikit berbeda dengan tempat-tempat lain seperti di Arubara, Maurongga dan Ndori. Di desa kotodirumali, Pemerintah desa, nelayan dan Kelompok LMMA bersepakat untuk penutupan semua jenis komoditas laut sementara di lokasi lain penutupan hanya satu jenis komoditas saja yaitu Gurita. 

Alasan utama melakukan penutupan semua jenis komoditas yang ada di laut, bahwa dari persentase produksi sudah mulai menurun serta berat juga mulai menurun ( Gurita). Selain itu juga, lokasi tersebut dilihat terlalu bebas dan banyak sekali nelayan penangkap dari Luar kabupaten Nagekeo. 

Bentangan Lokasi yang akan di tutup  ada 2 yaitu mulai dari perairan Daja sampai ke perairan Bengga. Jarak antara Daja dan bengga diperkirakan ± 10 km , artinya lokasi yang dilakukan penutupan cukup luas. 

Acara seremonial adat untuk Penutupan sementara lokasi Tangkap Nelayan di desa Kotodirumali

Penutupan Area Tangkapan 

Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dengan sistem buka tutup sudah dilakukan di wilayah NTT khususnya di kabupaten Ende. Sementara itu untuk Kabupaten Nagekeo akan dimulai dari desa Kotodirumali kecamatan Keo Tengah.  Masyarakat dan para nelayan menutup sementara 2 area penangkapan yaitu di perairan Daja dan area Bengga.

Penutupan sementera ini  selama 3 bulan dan mulai  dari tanggal 10 juni 2022 dan dibuka kembali pada bulan 10 september 2022. Penutupan sementara ini adalah bagian dari proses pembelajaran bagi masyarakat tentang pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang masyarakat sebagai pelaku utama.

Di sisi yang lain penutupan sementara ini bagian dari konservasi ekosistem laut serta memberikan waktu dan tempat bagi gurita berkembang biak, bertelur dan tumbuh lebih besar. Gurita spesies Octopus cyanea, mempunyai masa hidup yang singkat sekitar 18 bulan.

Jenis  spesies Octopus Cyanea ini khusus untuk gurita betina dewasa mampu bertelur 150 ribu sampai 170 ribu telur dan merawatnya sampai menetas.  Selain itu Octopus Cyanea diyakini bertelur sepanjang tahun dengan periode pemijahan puncak selama bulan Juni dan Desember.

Dengan siklus hidup gurita Octopus Cyanea yang singkat, penutupan sementara merupakan pengelolaan perikanan yang sesuai untuk diimplementasikan. Harapannya ketika dibuka gurita sudah tumbuh dengan besar dan mempunyai nilai lebih. Tidak hanya pada produksi meningkat tetapi dari sisi lingkungan juga mulai terjaga  dengan baik. 

Data Gurita 

 Proses pendampingan di wilayah Nagekeo dimulai sejak September 2019 khususnya desa kotodirumali dan desa Podenura.  Pendampingan desa tersebut merupakan hasil kerjasama YTNF, Yayasan Pesisir Lestari dan mitra Blue Ventures. Lembaga-lembaga ini merintis program pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat.

Program itu lahir karena adanya degradasinya sumber daya pesisir dan laut akibat perilaku manusia. Penyebabnya adalah terbatasnya pengetahuan akan pentingnya ekosistem laut bagi penghidupan yang berkelanjutan dan keterampilan dalam mengelola sumber daya yang ada secara berkelanjutan.

Keterbatasan pengetahuan akan pentingnya ekosistem laut ditunjukkan dengan adanya perilaku pemboman ikan, penebangan bakau, pengambilan pasir dan batu hijau yang berlebihan, serta penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem laut seperti karang.

Di Site Nagekeo , Kotodirumali dan Podenura Tananua Flores Menempatkan tenaga pendamping dan tenaga pendataan ( Enumerator) untuk melakukan Pendataan terhadap Gurita hasil tangkapan nelayan dan tenaga tersebut diambil dari masyarakat di desa itu.  Data gurita  yang dikumpulkan memberikan gambaran bahwa potensi perikanan gurita di wilayah pesisir selatan Kabupaten Nagekeo sangat  menjanjikan.

Hasil pendataan gurita  September  2021 – maret 2022 oleh 19 nelayan, jumlah tangkapan gurita sebanyak 1874 kg dengan jumlah Individu gurita 1267 Ekor.  Kategori Gurita yang berukuran di atas 2 kg sebanyak 341 kg,  1-2 kg jumlahnya 1,396 kg dan di bawah  dari 1 kg 137 kg.

Total pendapatan nelayan gurita dari September 2021- maret 2022(pendapatan desa dari perikanan gurita) sebesar Rp 66,412,700 juta. Pendapatan gurita ini dihitung berdasarkan harga jual nelayan ke pengepul di desa dengan kisaran  harga gurita Rp 40 ribu-50 ribu/kg.

Terdapat 17 lokasi yang menjadi area tangkapan nelayan kodim. Lokasi terfavorit yang sering dikunjungi nelayan gurita yaitu Daja  94 trip dan Bengga sebanyak 22 trip. Lokasi ini masih berada di area pesisir yang dekat dengan pemukiman warga, sehingga banyak nelayan yang tangkap di daerah itu. 

Melepaskan Pelampung di titik lokasi Penutupan

Mitra LMMA 

Dalam Pelaksanaan kegiatan Penutupan sementara itu, kelompok LMMA di dampingi YTNF dengan Mitrannya YPL dan Blueventure, Pemerintah Desa, pemerintah Kecamatan Keo Tengah, Dinas KCD NTT, Dinas Perikanan dan kelautan kabupaten Nagekeo, Tokoh agama, tokoh masyarakat serta TNI dan Polsek Keo tengah, terlibat dalam menentukan lokasi yang perlu di konservasi dan dilestarikan. 

Upaya dilakukan oleh LMMA adalah  bersama mitra mulai pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ekosistem dan Hewani, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. 

Penerapan Buka tutup lokasi tangkapan gurita dan komoditas lainnya adalah sebuah Model pengelolaan perikanan yang partisipatif artinya  realisasinya konservasi wilayah tangkapan gurita akan berjalan apabila masyarakat terlibat secara langsung  dalam proses pengelolaan serta ikut mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat tersebut. 

Siaran Pers  : Penutupan sementara Lokasi tangkap Gurita di Desa kotodirumali kecamatan Keo tengah kabupaten  Nagekeo Read More »

Program Penghidupan berkelanjutan  menjadi issu Utama dalam Kerja sama Tananua Flores dan Misereor Jerman

Ende, Tananua Flores, | Tananua Flores di akhir tahun 2021 gelar jumpah Pers terkait program kerja sama dengan Misereor Jerman yang rencananya akan di laksanakan di tahun 2022 mendatang. Dalam Program kerja sama tersebut Issu yang di angkat adalah  Penghidupan Berkelanjutan Daerah Hulu kabupaten Ende.

Di desa Nanganesa, kecamatan Ndona kabupaten Ende tepatnya di Mbu’u beach pada (22/12)Tananua Flores gelar jumpah Pers

Bernadus Sambut  direktur Tananua dalam jumpa pers  tersebut mengatakan Yayasan Tananua Flores mendampingi masyarakat dengan issu  utama adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, dengan visi lingkungan Lestari, masyarakat sejahtera.

Direktur  juga menyebutkan issu dan visi tersebut dikemas dalam  sebuah pendekatan”Uma Sao Rega”. Sebuah pendekatan yang menjadi pijakan dan Prinsip Tananua dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat di wilayah dampingannya.

“Pendekatan dan konsep Uma Sao Rega yang kami lakukan maka melahirkan 4 program utama yaitu Organisasi Petani, pertanian berkelanjutan, ekonomi kerakyatan, dan kesehatan Primer”, katanya.

Bernadus menjelaskan sampai saat ini desa yang Tananua damping dengan  program Penghidupan berkelanjutan sebanyak 23 desa di 8 kecamatan  wilayah kabupaten Ende. Sedangkan di program kelautan dan perikanan ada 6 desa yang tersebar di 5 kecamatan di 2 kabupaten yaitu Nagekeo dan Ende. Jumlah penerima manfaat langsung sebanyak 1995 orang di program pertanian, ada sebanyak 150 kelompok, 350 kader Pembangunan Desa dan ada 15 BUMDES yang di dampingi staf lapangan Tananua.

Jumpah pers juga dalam rangkah memberitahukan kepada publik sebagai bagian dalam proses pengawasan.

” Kami Tananua Flores di awal tahun  2022 dengan program baru ini, apa yang di kerjakan Tananua harus publik atau masyarakat di kabupaten Ende bisa mengetahuinya”,kata Bernadus

Lanjut Dia bahwa dengan diselenggaran jumpah Pers ini kita menyadari bahwa dengan program kerjasama harus butuh pengawasan dari masyarakat selain lembaga-lembaga pengawasan yang ada.

Menjawab pertanyaan wartawan, mengapa program Penghidupan berkelanjutan harus memilih desa-desa yang ada di hulu?

Hironimus Pala menjelaskan bahwa masyarakat desa yang ada di hulu masih banyak membutuhkan pendampingan secara rutin sebab, di hulu seluruh akses pengetahuan dan pembangunan masih sangat sulit.

Kedepannya Program yang akan dijalankan ke desa dampingan Tananua terdiri dari program petani berkelanjutan, kesehatan primer, organisasi petani dan konservasi lingkungan hidup.

Menurutnya bahwa sejak 32 tahun di hulu tempatnya memang jauh dari kota, dan berada di wilayah pedalaman. Semua sumber informasi sulit di jangkau, pengetahuan juga terbatas.

Dijelaskannya praktek kerja untuk penghidupan berkelanjutan yang di lakukan petani di hulu sangat terbatas dan yang di kerjakan sekarang masih praktek kerja warisan dari orang tua mereka. Praktek kerja juga masih juga sangat tradisional dan itu membuat peningkatan pada taraf hidup akan sangat lamban.

” Kami damping desa yang ada di hulu karena disana praktek kerja masih sangat manual masih mengikuti warisan orang tua terdahulu, lalu sumber benih pangan masih sangat tersedia “, ungkap Nimus.

Selain itu, Nimus pala juga menyampaikan dari data yang ada kabupaten Ende ada puluhan desa yang rentan terhadap persoalan pangan. Dan dari data tersebut sebanyak 13 desa yang rentan terhadap persoalan pangan.

” 13 desa yang sangat rentan dengan persoalan pangan dan dari desa itu salah satu juga ada di desa dampingan Tananua dan juga di luar desa dampingan”, ungkap Nimus.

Untuk membiayai program yang direncanakan selama 3 tahun yang akan datang Halima Tus’dyah menjelaskan untuk program kerjasama Tananua dan Misereor Jerman yang baru ini terdiri dari beberapa sumber pendanaan. Pertama, dana sebesar euro 100,000 dari Misereor, dana sebesar euro 215,000 dari pemerintah Jerman dan dana dari Tananua sebesar euro 15.000.

Dengan besar dana ini akan membiaya seluruh kerja-kerja program yang telah di sepakati.

” Tananua berkomitmen untuk selalu membangun kerja sama dan berkolaborasi bersama pemerintah setempat agar bisa bersama mewujudkan tujuan dari program”, Tutup Halimah.

Program Penghidupan berkelanjutan  menjadi issu Utama dalam Kerja sama Tananua Flores dan Misereor Jerman Read More »

PRESS RELEASE PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT

Ende, Tananua Flores- Sejak tahun 2019 Yayasan Tananua Flores bekerjasama dengan Yayasan Pesisir Lestari dalam kemitraan dengan Blue Ventures merintis sebuah program Pengelolaan Sumber daya Kelautan dan Perikanan berbasis masyarakat.

Program ini lahir karena melihat terjadinya degradasinya sumber daya pesisir dan laut disebabkan oleh perilaku manusia karena terbatasnya pengetahuan akan pentingnya ekosistem laut bagi penghidupan yang berkelanjutan dan keterampilan dalam mengelola sumber daya yang ada secara berkelanjutan.

Keterbatasan pengetahuan akan pentingnya ekosistem laut ditunjukkan dengan adanya perilaku pemboman ikan, penebangan bakau, pengambilan pasir/batu hijau yang berlebihan.

Fokus dari program ini adalah pengelolaan perikanan gurita dengan penguatan kelembagaan nelayan. Tujuan program adalah meningkatkan kesejahteraan ekonomi, kualitas kesehatan masyarakat nelayan dan konservasi daerah pesisir. Pada Tahun 2019  Yayasan Tananua Flores (YTNF)  memulai program ini di Lingkungan Arubara, Kelurahan Tetandara, Kecamatan Ende selatan dan di Desa persiapan Maurongga, Kecamatan Nangapanda.  Dan tahun 2021 YTNF (kami) memperluas wilayah pendampingan di Kecamatan Ndori (Desa Maubasa, Maubasa Timur dan Serandori) dan di Desa Tonggo, Podenura (Kecamatan Nangaroro), Desa Kotodurimali Kecamatan Keo Tengah Kabupaten Nagekeo.

Sampai saat ini YTNF kami sedang dan akan mendampingi 36 nelayan di lingkungan Arubara yang sudah terorganisir dalam satu kelompok dengan nama Kelompok Nelayan gurita Arubara, 1 kelompok nelayan di Maurongga yang beranggotakan 13 orang nelayan, Kelompok Kerja Locally-Managed Marine Area (LMMA)/Wilayah Kelautan yang Dikelola secara Lokal di Lingkungan Arubara dan kelompok kelompok perikanan di wilayah Desa Podenura, Tonggo dan Kotodirumali di kabupaten Nagekeo dan 3 desa di Kecamatan Ndori.

Program Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan ini adalah program baru bagi Yayasan Tananua Flores, tetapi dengan bimbingan teknis dari Yayasan Pesisir Lestari dalam kemitraan dengan Blue Ventures, ada beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan bersama dengan masyarakat nelayan dan salah satu kegiatannya adalah pendataan perikanan gurita. Kami memulai program dengan pendataan perikanan gurita berbasis masyarakat dimana masyarakat adalah pelaku utama pendataan. Dari data yang kami kumpulkan secara sensus (semua nelayan dan semua gurita hasil tangkapan didata setiap hari) memberikan gambaran bahwa potensi perikanan gurita di wilayah pesisir selatan Kabupaten Ende menjanjikan. Potensi perikanan gurita telah dimanfaatkan oleh nelayan di Lingkungan Arubara dan nelayan di Desa Persiapan Maurongga.  Hasil pendataan Gurita dalam periode Oktober 2019 – Mei 2021 terdata 59 nelayan gurita dengan jumlah tangkapan gurita sebanyak 9.359 kg,  yaitu gurita dengan ukuran di atas 2 kg sebanyak 3.292 kg,  1-2 kg total tangkapan sebanyak 5.876 kg dan di bawah 1 kg 190 kg. jumlah total  individu gurita yang di tangkap sebanyak 5.652 ekor. Dengan rincian gurita betina 2.844  ekor, dan jantan sebanyak 2.808 ekor. Total pendapatan nelayan gurita (pendapatan desa dari perikanan gurita) yaitu Rp170.693.250 (seratus tujuh puluh juta enam ratus sembilan puluh tiga ribu dua ratus lima puluh rupiah) dengan rincian per tahun 2019 (Oktober-Desember) sebanyak Rp75.420.000 (tujuh puluh lima juta empat ratus dua puluh ribu rupiah) dengan harga gurita Rp40.000/kg. Pada Tahun 2020 terjadi penurunan  harga gurita per kg menjadi Rp 15.000 – Rp20.000 sehingga total pendapatan di tahun 2000 (Januari – Desember) adalah Rp68.495.250 (enam puluh delapan juta empat ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah) dan di tahun 2021 kisaran harga gurita Rp20.000/kg, total pendapatan nelayan  tahun 2021 (Januari – Mei) adalah Rp26.778.000 (dua puluh enam juta tujuh ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah).

Terdapat 69 fishing site atau lokasi yang menjadi area tangkapan nelayan. Lokasi memancing nelayan  Arubara dengan jumlah tangkapan yang paling tinggi di lokasi Ngalupolo sebanyak 1.079,5 kg, Wolo topo 879,5 kg dan yang paling rendah adalah lokasi tangkapan Loworongga dengan jumlah hasil tangkapan 4 kg. Dengan total tangkapan selama periode oktober 2019 – mei 2021 sebanyak 8.117 Kg.  Hasil tangkapan nelayan di Maurongga pada periode yang sama sebanyak 1.242,45 kg. dengan jumlah tangkapan paling tinggi di lokasi Mau rongga sebanyak 1.014,75 Kg, lokasi tangkap Nangalala 83,7 Kg sedangkan lokasi dengan tangkapan paling rendah di Nagakeo 13,5 Kg.  Lokasi terfavorit yang sering dikunjungi nelayan gurita Arubara yaitu Mauwaru, ada 47 orang nelayan sebanyak 104 trip dan lokasi favorit lainnya yang  dikunjungi nelayan yaitu Wolotopo 40 nelayan dengan 104  trip dan lokasi yang paling jarang didatangi yaitu Mbomba oleh 1 orang nelayan dan 1 kali trip. Sedangkan Lokasi terfavorit nelayan Maurongga adalah lokasi tangkap maurongga yang dikunjungi oleh 7 nelayan dengan 218 trip. Para nelayan biasanya menggunakan alat tangkap yang berbeda. Data menunjukkan bahwa hasil tangkapan menggunakan alat pancing 4.101 ekor, menggunakan pocong saja 1.232 ekor, pocong dan pancing 151 ekor, menggunakan ganco 154 ekor,  dan menggunakan baka besi 14 ekor.

 

Melihat potensi perikanan gurita yang sangat besar ini maka kami mulai melakukan pendampingan, penguatan kapasitas masyarakat nelayan, pembentukan dan organisasi nelayan serta membangun kerjasama dengan berbagai stakeholder di Kabupaten Ende, Nagekeo dan Pemerintahan Provinsi NTT.

Kegiatan – Kegiatan yang dilakukan adalah:

    1. Survey desa, membuat profil desa dan nelayan gurita, sosialisasi program,dan rencana kerja yang disepakati bersama dengan nelayan di desa,  sharing pembelajaran bersama nelayan ataupun mitra.
    2. Membuat profil perikanan gurita.
    3. Pelatihan masyarakat pendata.
    4. Pendataan gurita dan presentasi umpan balik data (data feedback session) perikanan gurita serta pemetaan lokasi tangkap gurita.

Pendataan gurita dan feedback data sangat membantu nelayan dalam mengetahui potensi dan pendapatan nelayan gurita serta potensi pengelolaan perikanan gurita secara berkelanjutan.

    1. Pemetaan rantai pasokan dan rantai nilai perikanan gurita.
    2. Pembentukan dan penguatan organisasi nelayan melalui berbagai pelatihan dan sosialisasi.
    3. Membangun kerja sama kemitraan.

 

Penutupan Sementara Perikanan Gurita Octopus cyanea

Tahun 2020, Yayasan Tananua Flores bersama nelayan dari Arubara dan Maurongga melakukan kunjungan belajar tentang pengelolaan perikanan gurita berbasis masyarakat di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Kunjungan belajar ini memperkuat pemahaman dan merubah pola pikir, cara menangkap dan sistem pengelolaan perikanan gurita yang selama ini dilakukan oleh para nelayan di Arubara dan Maurongga. Kunjungan  ini juga telah berpengaruh positif kepada masyarakat di Lingkungan Arubara yang memberikan respons positif untuk pembentukan kelompok LMMA dan pengelolaan perikanan gurita berupa penutupan sementara selama 3 bulan.

Penjualan gurita ke pedagang pengumpul selama ini dengan sistem timbang, dibayar per kg. Semakin berat gurita maka harganya semakin tinggi juga. Hal inilah yang memotivasi nelayan untuk tidak menangkap gurita kecil yang beratnya di bawah 0,5 kg, membiarkannya tumbuh lebih besar baru kemudian ditangkap dengan menggunakan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan.

Yayasan Tananua Flores juga telah memfasilitasi terbentuknya kelompok LMMA. Kelompok ini yang akan mengorganisir para nelayan untuk menjaga ekosistem, mengawasi pelaksanaan sistem buka tutup area tangkapan gurita, menjalin kerjasama dengan stakeholder untuk upaya-upaya pengelolaan perikanan gurita secara berkelanjutan di wilayah Arubara.

Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dengan sistem buka tutup sudah dilakukan pada tanggal 29 Juli 2021 dimana masyarakat menutup sementara 5 area penangkapan yaitu Maubhanda, Mauwaru, Maugago, Ngazu Dola dan Tengumanu. Area penutupan sementara seluas 7,52 Ha. Pembukaan area tersebut akan dilakukan tanggal 29 Oktober 2021. Tujuan penutupan sementara perikanan gurita selama tiga bulan adalah sebagai pembelajaran bagi masyarakat tentang pengelolaan perikanan berbasis masyarakat serta untuk memberikan waktu dan tempat bagi gurita untuk tumbuh lebih besar dan untuk bertelur/berkembang biak karena gurita dalam hal ini spesies Octopus cyanea, mempunyai masa hidup yang singkat sekitar 12 bulan (Herwig et al. 2012). Gurita dewasa betina mampu bertelur 150.000 – 170.000 telur dan merawatnya sampai menetas. Octopus cyanea diyakini bertelur sepanjang tahun dengan periode pemijahan puncak selama bulan Juni dan Desember di Tanzania (Guard dan Mgaya, 2015).

Dengan siklus hidup gurita Octopus cyanea yang singkat, penutupan sementara merupakan pengelolaan perikanan yang sesuai untuk diimplementasikan, sehingga harapannya ketika pembukaan penutupan sementara, gurita sudah tumbuh dengan besar dan mempunyai nilai lebih.

Proses penutupan area ini dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama kelompok LMMA, para nelayan yang didukung oleh stakeholder seperti Bappeda Ende, Kantor Cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Wilayah Ende, Nagakeo dan Ngada, Kesyahbandaran, Camat Ende Selatan, Lurah Tetandara dan Babinsa Kelurahan Tetandara.

Selain itu Yayasan Tananua Flores juga bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Ende melalui Puskesmas Nangapanda, Ndori dan Rukun Lima untuk program kesehatan dasar seperti pelatihan manajemen Posyandu bagi kader dan PKK, pemanfaatan pekarangan untuk gizi keluarga, latihan kader kesehatan tentang pendataan kesehatan dan respon darurat kesehatan, penyadaran gender dan pendampingan kelompok perempuan.

Dalam melakukan pendampingan masyarakat dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak terutama dalam hal perikanan dan kelautan guna memberikan pemahaman tentang pentingnya laut bagi kehidupan mendatang karena masih ditemukan tantangan berikut ini:

 

  1. Masih ada nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti melakukan pemboman ikan di daerah pesisir pantai.
  2. Terbatasnya sarana alat tangkap yang digunakan oleh nelayan seperti perahu
  3. Belum terjangkaunya informasi yang berkaitan dengan regulasi/peraturan perundang undangan, keputusan menteri dan jaminan sosial kepada masyarakat nelayan.
  4. Terbatasnya sarana perikanan lainnya misalnya tempat pelelangan ikan, pabrik es, perusahan pengolahan hasil tangkapan dan gudang pembekuan.
  5. Kesadaran nelayan dalam menjaga ekosistem laut masih rendah

 

Yayasan Tananua Flores

Tananua Flores merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan di Waingapu Sumba Timur pada tanggal 11 September 1985, oleh alm. Nelson Sinaga, Ibu Roslin Dine Manabung dan Huki Rada Ndima. Yayasan Tananua Flores berbasis di Kabupaten Ende Flores Nusa Tenggara Timur. Hadirnya Yayasan Tananua merupakan wujud keprihatinan dan kepedulian  terhadap kondisi kemiskinan dan degradasi lingkungan di daerah hulu kabupaten Sumba Timur secara khusus dan propinsi Nusa Tenggara Timur umumnya.

Visi Kesejahteraan lahir batin adalah hak dan tujuan semua manusia (Laki-laki & perempuan), kesejahteraan tersebut diperoleh bukan karena pemberian orang lain tetapi berkat hasil usaha manusia (masyarakat) itu sendiri bersama orang lain.

Misi Mendampingi masyarakat yang masih tertinggal untuk meningkatkan kesejahteraan serta mengungkapkan pikiran, pendapat dan sikap secara mandiri.

Tujuan : Meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat pedesaan dan mengembangkan swadaya masyarakat.

Tananua Flores adalah sebuah badan hukum yang bersifat independen dan tidak berafiliasi pada kelompok, partai dan golongan tertentu.

Prinsip pengembangan program:

  • Keswadayaan masyarakat.
  • Keterbukaan dan kekeluargaan.
  • Tinggal bersama masyarakat.
  • Mulai dari apa yang ada dan dimiliki masyarakat.
  • Uji coba oleh petani/nelayan dalam skala kecil.
  • Penyuluhan dari petani ke petani.
  • Mengutamakan kaum marginal pedesaan.

Legalitas:

  • Akta Notaris No 06, tanggal 09 Nopember tahun 2009 oleh Klemens Nggotu,SH
  • Pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. AHU-795.AH.01.04. IN 2010 Program Berkarya di Kabupaten Ende sejak tahun 1989 dan saat ini sudah bekerja pada 103 desa pada 15 wilayah Kecamatan. Dengan pendekatan “Uma, Sao, Rega” (Kebun, Rumah dan Pasar) dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM), memfasilitasi petani melalui program:

Penghidupan Berkelanjutan

  • Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan (Konservasi Tanah dan air, pengembangan tanaman pangan local, tanaman umur panjang, hutan keluarga, pupuk dan pestisida organic, konservasi mata air).
  • Kesehatan Primer (obat tradisional, posyandu, makanan lokal untuk pengembangan gizi, kesehatan reproduksi, penyakit rakyat, air bersih, kesehatan Ekonomi Kerakyatan (Koperasi, Usaha Bersama Simpan pinjam).
  • Penguatan institusi petani dan Tananua (SDM personalia, managemen organisasi, manajemen keuangan, usaha swadana lembaga).

Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

Untuk program pengelolaan sumber daya kelautan dan Perikanan, Yayasan Tananua Flores bekerja sama dengan Yayasan Pesisir Lestari yang bermitra dengan Blue Ventures.

Kerjasama kemitraan dan Jaringan

Yayasan Pesisir Lestari: https://www.pesisirlestari.org/

Pesisir Lestari adalah organisasi konservasi berbasis di Bali yang bertujuan mendorongkan pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan melestarikan ekosistem laut yang berkelanjutan untuk generasi masa depan. Bermitra dengan Blue Ventures, organisasi konservasi laut yang berbasis di Inggris, kami membangun kemitraan dengan 12 organisasi lokal yang bekerja sama dengan masyarakat pesisir di 9 provinsi di Indonesia.

Blue Ventures: https://blueventures.org/

Blue Ventures mengembangkan pendekatan transformatif untuk mempercepat dan mendukung konservasi laut yang digerakkan secara lokal. Blue Ventures bergerak di wilayah tropis pesisir, di lokasi-lokasi di mana laut menjadi hal yang sangat penting bagi budaya dan perekonomian setempat, serta berkomitmen untuk melindungi keanekaragaman hayati dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat pesisir. Model Blue Ventures memainkan peran sangat penting dalam membangun kembali perikanan skala kecil, dengan memberikan pendekatan yang efektif dan dapat direplikasi untuk mengembalikan keanekaragaman hayati yang hilang, meningkatkan ketahanan pangan dan membangun ketahanan sosio-ekologis terhadap perubahan iklim.

 

Kontak:

Yayasan Tananua Flores: Bernadus Sambut ytananuaflores@gmail.com & Pius Jodho piusjodho89954@gmail.com

Yayasan Pesisir Lestari dalam kemitraan dengan Blue Ventures: Indah Rufiati indah@pesisirlestari.org & Made Dharma dharma@pesisirlestari.org

PRESS RELEASE PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT Read More »

Pernyataan sikap : Gerakan Masyarakat Sipil Dan Organisasi Massa di Indonesia

Ende, Tananua Flores,- Dinamika sistem pangan nasional takkan terlepas dari adanya pengaturan pangan tingkat dunia yang aktor-aktornya saling berkaitan. Selama ini pengaturan pangan global yang sudah  berada dalam cengkeraman korporasi akan semakin kuat, tercermin dari rencana penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Sistem Pangan Dunia oleh PBB (United Nations Food System Summit-UNFSS) yang terdiri dari acara Pre-Summit pada 26-28 Juli 2021 dan puncaknya pada September 2021 di New York.

KTT Sistem Pangan Dunia PBB merupakan KTT yang bertujuan untuk menciptakan sistem pangan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan. KTT ini dimaksudkan untuk menjadi wadah dalam mengentaskan permasalahan kelaparan dan gizi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan Laporan SOFI 2021 (State of the Food Security and Nutrition in the World), lebih dari 811 juta penduduk dunia menghadapi kelaparan pada tahun 2020 atau meningkat 116 juta dari tahun 2019.

Namun, penyelenggaraan KTT tidak dibangun dari inisiatif negara anggota PBB (member- states), terkhusus FAO (Food and Agriculture-Organisasi Badan Pangan Dunia), ataupun inisiatif para petani, nelayan, buruh, masyarakat sipil dan organisasi massa, atau lembaga berbasis HAM PBB yang relatif demokratis, partisipatif, dan berbasis hak seperti Komite Ketahanan Pangan Dunia (Committee of World Food Security/CFS).

Inisiatif menyelenggarakan KTT ini datang dari Sekjen PBB dan melibatkan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) yang beranggotakan korporasi-korporasi berkepentingan bisnis. Tentunya, ini berpotensi menyebabkan konflik kepentingan dan penyimpangan dari visi KTT sendiri yang bertujuan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan. Dalam hal ini keadilan dalam mentransformasi sistem pangan untuk berpihak pada hak rakyat.

Kerjasama strategis PBB-WEF pada 2019 silam dan pengikutsertaan Agnes Kalibata, Presiden AGRA (Aliansi Revolusi Hijau Afrika), sebagai Special Envoy (Utusan Khusus) juga semakin mengukuhkan kepentingan dan peluang dominasi bisnis dalam prosesnya. AGRA adalah salah satu organisasi yang didukung dan didanai Gates Foundation yang punya orientasi mempromosikan Revolusi Industrial Keempat yang mengonsentrasikan kuasa pada institusi riset dan korporasi agribisnis, serta mendorong praktik -praktik pertanian industrial berintensif kimia.

Dasar pelaksanaan KTT tentunya berpengaruh terhadap struktur, keluaran yang akan dihasilkan, berikut dampak pengaturan sistem pangan global dalam jangka panjang. Secara struktural, penyelenggaraan KTT bergeser dari pendekatan multilateralis me, di mana input dan solusi diwakilkan oleh negara anggota (member-states), ke multipihak atau multistakeholderism di mana semua aktor dalam sistem pangan diikutsertakan dalam forum penghimpunan aspirasi dan pengambilan keputusan.

Meskipun dalilnya adalah inklusivitas, tetapi forum multipihak berarti menaruh seluruh aktor dalam satu wadah, termasuk korporasi yang ‘dicampur’ dengan kelompok marginal. Dampaknya ada empat. Pertama, terjadi konflik kepentingan, di mana korporasi yang punya kepentingan privat, yakni memiliki sifat memaksimalkan keuntungan melalui peningkatan penjualan, akan berbenturan dengan kepentingan publik dalam pemenuhan pangan dan gizi, yang harus berorientasi pada akses untuk semua. Kedua, solusi yang dihasilkan tetap menempatkan korporasi sebagai aktor yang diandalkan dalam pengentasan masalah pangan dan gizi, misal climate smart agriculture dan biofortifikasi untuk mengatasi permasalahan gizi buruk melalui campur tangan korporasi (dan ahli gizi), yang sebenarnya justru menghilangkan keragaman pangan yang sehat, bergizi, dan diproduksi secara alami . Ketiga, korporasi sebagai aktor yang kerap menjadi pelanggar HAM nomor satu yang mendominasi seluruh lini dalam sistem pangan, tidak dilihat sebagai akar permasalahan sistem pangan hari ini yang harus dicari solusinya; misal dengan membatasi kuasanya melalui serangkaian regulasi dan kebijakan. Keempat, perempuan petani, perempuan nelayan, perempua n buruh dan perempuan adat mengalami dampak yang lebih berat dan mendalam karena peran gendernya akibat keserakahan korporasi. Karakteristik korporasi yang berorientasi pada keuntungan dan produksi massal merupakan karakteristik yang patriarkh, yang meminggirkan perempuan dengan karakteristiknya yang merawat, menjaga dan berkelanjutan.

Dengan demikian bukan kedaulatan pangan yang terlihat, melainkan korporatisasi pangan yang berarti menjadikan petani, nelayan, buruh, dan masyarakat adat sebagai objek dari pembangunan pertanian itu sendiri alias sapi perahnya korporasi.

Korporatisasi pangan tersebut sebenarnya justru merupakan penerapan dari konsep Ketahanan Pangan yang diusung oleh FAO pada KTT Sistem Pangan 1996 dan kemudian diadopsi oleh seluruh negara anggota FAO hingga sekarang. Dalam hal ini Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Sementara Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Secara sederhana konsep ini diartikan bahwa tidak penting pangan itu disiapkan oleh siapa dan bagaimana memproduksi dan mengolahnya dan oleh karena itu korporatisasi pangan dengan penerapan pertanian kimia (Revolusi Hijau), rekayasa genetika, dan pasar bebas menemukan jalannya.

Selain itu, konsekuensi yang lain adalah skema akuntabilitas dalam struktur ini menjadi tidak jelas. Alih-alih membuat forum pengambilan keputusan dengan aturan yang jelas dan hukum yang mengikat (legally binding), di mana negara sebagai pemegang kewajiban yang mandat dan pertanggungjawabannya jelas mewakili kepentingan rakyatnya, KTT “… melibatkan berbagai stakeholders ke diskusi kebijakan tanpa aturan serta alur yang jelas soal

keikutsertaan mereka”. KTT justru tidak melibatkan lembaga PBB lain yang berkepentingan memastikan terpenuhinya hak dasar seperti CFS dan ILO juga tidak diikutsertakan.

Negara yang memperoleh tempat dalam memberikan masukan, di antaranya melalui Dialog Nasional dan Dialog Subnasional dimana Bappenas sebagai penyelenggaranya justru lebih memberi ruang bagi kepentingan privat yang juga berbasis pasar, dengan dilibatkannya asosiasi-asosiasi bisnis yang beranggotakan korporasi-korporasi agribisnis seperti PISAgro dan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), dan melalui organisasi non- profit yang bermitra dengan sektor privat seperti GAIN Indonesia.

Seleksi dan invitasi partisipan juga tidak diketahui apa dasarnya atau bagaimana prosesnya. Per bulan Juli, Bappenas sudah melaksanakan satu dialog nasional dengan lima dialog subnasional yang hasilnya akan dibawa ke Pre-Summit KTT Sistem Pangan Dunia di Roma pada tanggal 26 -28 Juli 2021 ini.

Sebagaimana yang telah dikritik oleh gerakan masyarakat sipil di skala internasional, hasil dari forum di Indonesia, bila dikritisi lebih dalam, cenderung berlogika/berorientasi pasar dan kebanyakan mendorong permasalahan teknis seperti perbaikan teknologi, finansialisasi, efisiensi, dan produktivitas dalam sistem pertanian dan pangan. Agroekologi, pangan lokal, dan pertanian keluarga sudah dimasukkan sebagai solusi, tetapi narasinya terkooptasi dan tidak dapat merealisasikan tujuannya yang sejati apabila diimplementasikan bersamaan dengan solusi lain yang malahan bertentangan, seperti korporasi petani, climate smart agriculture, dan biofortifikasi.

Ini menandakan, permasalahan struktural dalam sistem pangan, terutama yang terkait dengan adanya dominasi korporasi dalam sistem pangan atau pelanggaran HAM yang disebabkan oleh korporasi menjadi tidak terbahas secara menyeluruh, pun solusi yang berusaha merespon masalah tersebut.

Dari uraian di atas, Penyelenggaraan KTT Sistem Pangan (UNFSS) mempunyai dua kesalahan, yakni kesalahan prosedur-proses dan kesalahan paradigma sistem pangan yang bias korporasi dan sekaligus melanggar hak rakyat sebagai pemegang hak (rights holders). Sementara Indonesia justru sangat memerlukan pengendalian dan pengurangan dominasi korporasi karena menimbulkan permasalahan pangan yang kami jabarkan sebagai berikut:

Permasalahan Dalam Sistem Pangan Di Indonesia

Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks dalam sistem pangan, yang mencegah masyarakat memperoleh pemenuhan hak atas pangannya secara menyeluruh. Sistem pangan di Indonesia, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi didomina si oleh korporasi-korporasi besar yang mengakumulasi keuntungan dan tidak mengentaskan permasalahan gizi serta kelaparan. Hal ini juga dipengaruhi posisi Indonesia dalam sistem pangan global dan perdagangan dunia yang dipaksakan melalui berbagai perjanjian internasional, yang membuat Indonesia menjadi daerah pemasok bahan baku industri seperti kelapa sawit, coklat, kopi, dan tanaman industri lainnya, tetapi juga menjadi sasaran empuk baik ekspor maupun investasi dari negara-negara industri. Tercatat terdapat 40 perjanjian perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia, yang berarti semakin banyak kebijakan nasional yang harus disesuaikan dengan substansi perdagangan bebas, pro impor pangan, dan semakin memberi ruang bagi korporasi untuk mengontrol pasar. Di sisi lain, negara tidak memberikan perlindungan hukum yang berpihak pada produsen pangan skala k ecil dan konsumen rentan.

Dari sisi produksi (Alat Produksi), perampasan tanah dan konversi lahan terus dihadapi petani dan kelompok masyarakat adat yang membuat mereka kehilangan kontrol serta akses terhadap sumber daya produktif sekaligus sumber pangannya. Perampasan dan penutupan akses dan kontrol bukan hanya untuk kepentingan alihfungsi menjadi lahan perkebunan demi menyiapkan komoditas ekspor, tetapi juga diperuntukkan dalam membangun proyek-proyek infrastruktur raksasa, perluasan industri ekstraktif seperti pertambangan, dan pariwisata.

Dari sektor pangan laut, pembangunan proyek skala besar seperti reklamasi pantai, pertambangan pasir, pertambangan nikel, dan pertambangan migas terbukti kuat menghancurkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang mengancam keberlanjutan pangan laut di Indonesia sekaligus mengancam kehidupan nelayan tradisiona l atau nelayan skala kecil sebagai produsen utama pangan laut. Ekosistem yang rus ak telah menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan dan terganggungnya perekonomian nelayan kecil. Hal ini diperburuk dengan urusan birokrasi yang sulit terkait pengurusan izin usaha perikanan dan pembudidayaan, serta aturan penggunaan alat tangkap yang banyak membatasi nelayan kecil tetapi tidak menindak kapal-kapal besar yang menggunakan alat tangkap yang lebih masif menjaring ikan.

Kebijakan reforma agraria di Indonesia telah diatur dengan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, tetapi pengaturan agraria yang berlaku dari era Orde Baru hingga saat ini belum merealisasikan reforma agraria sesuai mandat pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960, tetapi pengaturan agraria berorientasi pasar yang lebih menguntungkan pihak -pihak korporasi dan investasi asing.

Masih dalam sisi produksi (Mode Produksi) , promosi dan penerapan pertanian monokultur industrial dengan input/sarana produksi tani (saprotan) eksternal (benih, pupuk, pestisida, obat-obatan tanaman) yang diproduksi oleh agroindustri atau ilmuwan-ilmuwan dalam bidang rekayasa genetika sejak Revolusi Hijau di era Orde Baru, telah membuat petani berada dalam ketergantungan dan ancaman kerusakan lahan, sementara korporasi agroindustri terus mendulang keuntungan. Petani yang mencoba mengembangkan benih sendiri juga terbentur urusan birokratif dalam perizinan serrtifikasi benih dan biaya pendaftaran. Di sisi lain, subsidi pemerintah juga tidak menjadi jawaban karena sering salah sasaran dan membuat petani harus mengakses saprotan komersil yang mahal, mengakibatkan meningkatnya biaya produksi yang tidak sebanding dengan pendapatan hasil penjualan panen, menimbulkan kerugian. Banyak petani yang akhirnya tidak bertahan dan akhirnya mengalihkan mata pencahariannya menjadi buruh upahan, baik sebagai buruh tani atau buruh perkebunan bila mereka masih bertahan di pedesaan. Padahal, pekerjaan sebagai buruh menjebak mereka dalam keterancaman yang lain: lingkungan kerja yang berbahaya dan eksploitatif dengan pengupahan yang murah untuk menekan biaya produksi perusahaan.

Berkenaan dengan krisis pangan yang diperingatkan oleh FAO sebagai akibat dari Pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, pemerintah membangun kawasan pertanian pangan secara luas (Food Estate) seperti tidak berkaca dari kegagalan Food Estate di era kepemimpi nan Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014). Food Estate menerapkan pertanian monokultur dengan model kimiawi dan memberi peran luas kepada korporasi dari hulu ke hilir yang tetap menaruh petani hanya sebagai penyumbang tenaga kerja dan meminggirkan cara produksi pangan yang lebih sesuai dengan kebudayaan lokal dan adat setempat.

Kedua hal—perampasan tanah dan pertanian industrial—diperburuk dengan liberalisasi investasi untuk menciptakan pasar tanah melalui pembentukan bank tanah dan liberalisasi pasar yang menyebabkan impor pangan dan impor benih menjadi semakin masif melalui pasal-pasal dalam Omnibus Law atau Undang-Undang No. 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Impor pangan menyebabkan petani dan nelayan harus bersaing dengan produk pangan dari luar dan menjatuhkan harga jual hasil panen mereka. Sementara untuk impor benih, terdapat ancaman bahwa (1) petani akan dipaksa bergantung pada benih yang dimonopoli oleh segelintir korporasi multinasional di dunia, (2) terjadi paten dan komodifikasi benih melalui berbagai kebijakan global, (3) kriminalisasi petani benih karena dianggap sebagai produsen illegal, dan (4) preferensi pada varietas benih modern (hibrida, GMO, biofortifikasi) yang dianggap lebih unggul daripada benih lokal.

Dari sisi distribusi, produsen pangan skala kecil juga menghadapi panjangnya rantai yang dipermainkan tengkulak dan mafia pangan, serta monopoli pasar yang dikuasai oleh korporasi. Ini menimbulkan harga jual panen petani atau produsen pangan skala kecil lainnya rentan dipermainkan dan tidak menutup biaya produksi yang telah dikeluarkan. Semakin tidak menjanjikannya keuntungan dari hasil bertani ataupun melaut, ditamba h perampasan lahan dan juga relasi tenurial yang timpang antara petani penggarap dengan tuan tanah yang tidak diatur dengan baik dan memiliki sistem peradilan yang adil oleh negara, membuat produsen pangan skala kecil bermigrasi ke kota atau beralih kerja menjadi buruh atau tenaga kerja upahan yang menerima upah atau gaji yang murah, selanjutnya mengancam mereka dalam kemiskinan. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa jumlah petani gurem yang terus meningkat selama satu dasawarsa terakhir (sementara penguasa lahan di atas 10 . 000 hektar tidak mencapai 1% dalam statistik penguasaan lahan)7, menurunnya jumlah penduduk di pedesaan8, serta menurunnya jumlah nelayan9 di Indonesia.

Selain itu karena pengaturan agraria di sisi alat produksi—yang gagal menanggulangi atau malah menyebabkan—ketimpangan kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria dan SDA, menyebabkan berkurangnya produksi pangan yang sehat, bergizi, dan beragam, kemudian menambahkan alasan untuk impor pangan dan terjadilah lingkaran setan atau vicious circle.

Impor menyebabkan pemenuhan pangan di Indonesia menjadi bergantung pada sistem pangan global yang harganya sewaktu-waktu bisa naik dan memengaruhi kenaikan harga di tingkat nasional, membuat harga komoditas pangan primer tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Lebih dari itu produsen pangan skala kecil terancam karena produknya harus bersaing dengan produk impor di pasaran yang menjatuhkan harga jual hasil panen mereka. Impor bahan-bahan tertentu seperti garam, gandum, dan gula menguatkan industri pangan, termasuk industri raksasa makanan dan minuman jadi yang menghasilkan makanan dan minuman ultraproses dengan harga yang murah. Lebih dari itu, kebijakan impor pangan j uga semakin dimudahkan melalui pasal-pasal dalam Omnibus Law atau Undang-Undang No. 12 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Permasalahan lainnya pada sisi distribusi adalah liberalisasi model saluran pemasaran – yang dibuktikan dengan menjamurkan industri ritel hingga ke kelurahan dan perdesaan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat dan berlanjut tergesernya kios – kios rakyat dan pasar lokal tradisional ( territorial market). Bahkan Industri ritel milik korporasi tersebut mencakup pangan.

Dari sisi konsumsi, menguatnya korporasi juga berdampak pada dan bahkan mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat baik produsen pangan maupun konsumen pangan. Preferensi terhadap makanan instan dan murah semakin tinggi seiring dengan perubahan gaya hidup dengan beban dan durasi kerja yang tinggi dan himpitan ekonomi yang dihadapi petani kecil, nelayan, miskin kota dan buruh. Tercakup dalam hal ini makanan cepat saji (fast food) milik restoran korporasi asing seiring dengan perubahan pola gaya hidup dan pola konsumsi. Perubahan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat kelas menengah-atas, melainkan juga masyarakat bawah seiring dengan menjamurnya industri retail pangan sebagaimana yang disebut pada sisi distribusi.

Makanan instan seperti mie instan, sarden kalengan, dan bumbu-bumbu artifisial tinggi MSG, natrium, dan kandungan kimia lain menjadi pilihan makan bagi rumah tangga-rumah tangga miskin, di antaranya masyarakat miskin kota, para buruh, bahkan buruh industri pangan dan produsen pangan itu sendiri, seperti buruh perkebunan sawit dan petani miskin tunakisma. Pendapatan yang jauh dari kata layak, dibarengi dengan ketiadaan sumber pangan subs isten, kerap membuat seorang buruh mesti berhutang untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Siasat lainnya adalah menekan pengeluaran untuk kebutuhan pangan atau berhemat dengan membeli makanan yang murah dan “enak” seperti makanan instan tadi. Sementara makanan instan dan makanan cepat saji belum tentu memenuhi kecukupan gizi dan alih-alih justru tidak menjamin keamanan pangannya (Food Safety). Sebagai konsekuensi, muncul kelaparan struktural berupa permasalahan kesehatan dan gizi seperti stunting, gizi buruk, obesitas , dan penyakit-penyakit seperti diabetes, jantung, dan stroke.

Permasalahan gizi dan kesehatan tersebut juga tidak lepas dari panjangnya rantai pasok y ang memisahkan petani, nelayan, dan produsen pangan skala kecil lain dengan buruh dan masyarakat miskin kota, sehingga tidak ada titik temu antara keberlanjutan produksi dan keberlanjutan konsumsi diantara mereka. Ketidakadaan tersebut berakibat pada harga pangan yang pada saat tertentu berpengaruh pada ketidakterjangkauan buruh dan miskin kota terhadap pangan. Begitu juga sebaliknya, harga pangan yang rendah menjadi masalah bagi produsen pangan.

Dalam seluruh lini permasalahan dalam sistem pangan, terdapat diskriminasi, marginalisasi, dan eksklusi terhadap perempuan. Tidak ada pengakuan terhadap posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan pangan, baik petani maupun nelayan. Perempuan nelayan masih sulit memperoleh kartu identitas sebagai produsen yang berpengaruh pada tidak dipenuhinya hak-hak mereka atas kesejahteraan. Pola pertanian yang semakin industrial juga mengurangi peran perempuan yang vital dalam menjaga keberlanjutan pertanian. Perempuan yang bekerja sebagai buruh dalam sektor pangan, di perkebunan sawit misalnya, menghuni pekerjaan-pekerjaan yang berupah lebih rendah dari kerja buruh laki-laki tetapi tetap berada dalam lingkungan kerja yang eksploitatif, beracun, berbahaya, dan rentan kekerasan. Dalam konteks kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber agraria, perempuan juga masih kerap mengalami diskriminasi. Ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan antara perempuan dan laki-laki juga masih lebar.

Sedangkan dalam konsumsi, perempuan merupakan aktor yang paling sering disasar oleh korporasi agribisnis untuk memasarkan produknya dengan cara-cara yang agresif. Seperti misalnya, seorang ibu yang sering menjadi korban promosi produk pengganti ASI seperti Formula Susu Sapi (FSS) untuk dirinya dan bayinya yang kemudian menggantikan susu ibu itu sendiri—sebuah pelanggaran hak atas pangan karena bayi memerlukan ASI eksklusif bukan FSS. Kebijakan pencegahan stunting anak dan penanganan kurang gizi pada ibu dan perempuan di Indonesia, juga seringkali terjebak sebatas pada pemberian makanan fortifik asi atau tablet penambah darah yang sebenarnya merupakan keluaran dari agribisnis bersama dengan teknologi pangan. Hal ini tidak membedah permasalahan struktural yang bisa menyebabkan seorang perempuan kurang gizi: ketiadaan akses perempuan terhadap sumber daya produktif, pengurangan beban berlapis yang disandang perempuan, dan kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan kebutuhan pangannya tidak tercukupi.

Dengan adanya permasalahan pangan yang menunjukkan dominasi korporasi—baik korporasi nasional ataupun multinasional (MNC)—dalam produksi, distribusi, dan konsumsi, juga diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok marginal lainnya, negara yang harusnya menyediakan perlindungan hukum dan menanggulangi diskriminasi, serta ketimpangan kuasa serta akses, malahan mengukuhkan berbagai peraturan yang memberik an kemudahan bagi korporasi dari jaminan lahan, pasar, hingga perlindungan hukum, di antaranya melalui UU Cipta Kerja tadi.

Oleh karena itu, kami segenap gerakan masyarakat sipil dan organisa si massa berpendapat dan bersikap:

  1. Menyatakan keberatan terhadap KTT Sistem Pangan Dunia PBB/UNFSS beserta organ-organnya seperti Scientific Group, karena (a) Proses-proses tidak sesuai dengan penyelenggaraan KTT Pangan sebelumnya yang berazazkan multilaterisme, demokrasi dan transparan, serta pelibatan negara anggota (member-state), CFS dan CSM; (b) UNFSS berikut proses-proses sosialisasi dan persiapannya di tingka t skala nasional, regional dan internasional, karena merupakan bentuk pembajakan ruang untuk transformasi sistem pangan oleh korporasi dengan menerapkan multistakeholderisme; dan (c) melegitimasi penggunaan pengetahuan yang tidak bersumber dari pengetahuan lokal ataupun cara-cara yang selaras alam untuk kepentingan bisnis;
  1. Mendesak Pemerintah untuk melangsungkan dialog terkait transformasi sistem pangan nasional dengan jejaring masyarakat sipil dan organisasi petani, nelayan, serikat buruh, perempuan, dan kelompok masyarakat adat yang lebih luas, dengan proses yang lebih demokratis dan transparan untuk mewujudkan sistem pangan yang berbasis kedaulatan pangan;
  2. Meletakkan kedaulatan pangan yang adil gender sebagai pilar utama untuk mengatasi permasalahan pangan pro-korporasi yang selain menyerukan reforma agraria, agroekologi, kelembagaan ekonomi yang bersifat solidaritas dan kerakyatan seperti koperasi, dan penguatan kelembagaan UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas atau Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan), juga mengecam segala bentuk liberalisasi pangan melalui perdagangan bebas yang akan mengakibatkan perubahan hukum nasional di sektor pangan yang pro liberalisasi dan mengancam nasib seluruh aktor dalam sistem pangan nasional;
  3. Mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala perampasan ruang hidup terhadap petani, nelayan, dan produsen pangan skala kecil lainnya dengan proyek- proyek infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan baik di daratan, pesisir, atau pulau-pulau kecil serta memperbaiki kondisi kerja dan pendapatan yang layak bagi para pekerja dan buruh di sektor pangan;
  4. Mengajak seluruh unsur masyarakat sipil untuk memperjuangkan gerakan kedaulatan rakyat di Indonesia dengan: (a) melakukan edukasi dan penyadaran yang lebih luas terhadap produksi dan konsumsi pangan sehat, ramah lingkungan, berkeadilan gender, serta bebas dari kuasa korporasi; (b) membangun kawasan Daulat Pangan sebagai pengganti pendirian Food Estate oleh pemerintah ; (c) konsolidasi gerakan rakyat yang lebih luas untuk membangun legitimasi dan kedaulatan versi rakyat; (d) melakukan advokasi kepada negara untuk merealisasikan hak atas pangan berikut hak-hak lainnya (hak atas tanah, hak perlindungan petani dan nelayan; hak atas pendapatan dan pekerjaan yang layak, hak atas kesehatan, hak-hak perempuan, dan hak-hak masyarakat adat; (e) melakukan kampanye termasuk praktik-praktik gerakan sosial yang sudah berjalan dalam menelusuri alternatif realisasi hak atas pangan

Organisasi yang bertandatangan dibawah ini:

  1. FIAN Indonesia
  2. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  3. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
  4. Serikat Petani Indonesia (SPI)
  5. Indonesia Human Rights Committe for Social Justice (IHCS)
  6. Aliansi Petani Indonesia (API)
  7. Bina Desa
  8. Solidaritas Perempuan,
  9. Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI)
  10. Yayasan Tananua Flores
  11. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
  12. Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS)
  13. FSBKU – KSN
  14. KOBETA
  15. FIELD Indonesia
  16. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
  17. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  18. Kediri Bersama Rakyat (KIBAR)
  19. Perkumpulan Inisiatif
  20. WALHI Kalteng
  21. FSRP – KSN
  22. FS-Pasopati -KSN
  23. Samawa Islam Transformatif (SIT)
  24. Bina Keterampilan Indonesia (BITRA) Indonesia
  25. Agrarian Resources Center (ARC)
  26. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Temulawak dan Jahe Menjadi Produk Yang di Cari Saat ini

Siaran Pers : Gerakan Masyarakat Sipil Dan Organisasi Massa di Indonesia

Pernyataan sikap : Gerakan Masyarakat Sipil Dan Organisasi Massa di Indonesia Read More »

Direktur Tananua Flores Sebut Wartawan Sangat Berperan Sebarluaskan Informasi Kepada Publik

Ende,Tananua.org – Direktur Yayasan Tananua Flores (YTNF), Bernadus Sambut mengatakan wartawan sangat berperan dalam menyebarluaskan informasi penting sehingga publik dapat mengetahui segala aktivitas yang terjadi dan semua kegiatan yang dilakukan.

Hal ini dikatakan Bernadus Sambut dalam konferensi pers yang digelar di aula pertemuan YTNF pada Sabtu (19/06/2021) dalam menyampaikan evaluasi dan laporan kegiatan Penggalangan Donasi dan Pendistribusian Bantuan kepada Korban Bencana di Adonara dan Lembata yang telah dilaksanakan pada 6 – 9 Mei 2021 lalu.

Bernadus menuturkan keterlibatan pers dalam pelaksanaan aksi kemanusiaan ini turut mendukung kepercayaan para donator yang telah mempercayai Tananua sebagai lembaga terpercaya yang dapat menyalurkan bantuan yang diberikan.

“Melalui berita yang ditulis teman – teman wartawan, para donatur merasa yakin bahwa bantuan mereka benar – benar tersalurkan karena berita yang dimuat di media teman – teman kami share lagi kepada para donatur sebagai bukti bahwa kita benar – benar melakukan aksi kemanusiaan itu,” tutur Bernadus.

Bernadus Sambut melanjutkan Tananua sebagai salah satu lembaga pendampingan masyarakat yang sejak awal berdirinya telah terlibat aktif dalam penanganan situasi kebencanaan berkehendak untuk melaksanakan aksi kemanusiaan sebagai bagian dari keprihatinan dan rasa kepedulian terhadap sesama yang mengalami musibah sesuai moto utamanya Kita Satu Keluarga.

“Dengan melihat situasi yang terjadi maka tanggal 06 April 2021 Tananua terpanggil untuk membentuk posko peduli kemanusiaan sebagai respon atas bencana yang terjadi agar dapat menggalang donasi untuk memfasilitasi uluran tangan kasih dari para donatur kepada sesama saudara yang mengalami musibah bencana seperti badai siklon Seroja yang menimpa NTT beberapa waktu lalu,” lanjutnya.

Baca Juga : Tiba Lewoleba Tananua Flores Langsung Salurkan Bantuan Kepada Korban Bencana Lembata

Bertempat di Kantor YTNF jelas Bernadus, pihaknya melakukan open donasi dengan menggalang bantuan kepada semua sahabat, petani dampingan dan para mitra YTNF baik di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri sedangkan semua staf YTNF digerakan menjadi relawan posko sambil bekerja untuk menangani program kerja yang sedang mereka laksanakan.

“Open donasi digalakan selama satu bulan dalam bentuk uang dan barang dengan uang yang terkumpul sebanyak Rp 480.611.478,- dan berbagai barang dari staf dan petani dampingan YTNF. Adapun sumber donasi terbesar berasal dari MISEREOR sebesar Rp 434.074.830,- dan Rp 46.536.648 bersumber dari beberapa mitra dan individu diantaranya bapak Jim Wood (Inggris), Yayasan Bina Desa, IGJ, FIAN Indonesia (Jakarta), ibu Marina, Putra Suardika – PT Tirta Investama Banjar Gumasi ( Denpasar), bapak Yohanes (Jogjakarta), Chalis (Banggai Laut) dan juga YTNF dan stafnya,” jelas Bernardus.

Dikatakan Bernardus, semua dana yang terkumpul dibelanjakan Tananua sesuai syarat yang ada di dalam kontrak kerjasama dengan mitra dimana penawaran dan pengadaan barang dilakukan di Ende dengan pembelanjaan berupa 574 paket peralatan dapur (periuk, kuali, piring, senduk dan gelas), Aqua 425 dos, susu Dancow 400 g 100 kotak, ikan teri 150 kg, sayur 100 paket, buah – buahan yang digantikan dengan bumbu dapur (bawang merah dan bawang putih )100 paket, pakaian dalam anak – anak (laki – laki dan perempuan), pakaian dewasa 974 buah dan kasur 235 buah.

Bernadus mengungkapkan semua bantuan yang telah dipacking didistribusikan dalam dua kloster sesuai dengan daerah tujuan yang telah disepakati yaitu Adonara, Kabupaten Flores Timur dan Lembata yang mengalami dampak bencana terparah akibat badai siklon Seroja di NTT.

“Relawan kita bagi dalam dua tim yaitu 12 orang mengantar 314 paket bantuan ke Lembata yang berangkat dari Ende pada 6 Mei 2021 dan tim kedua berjumlah 10 orang dengan mengantar 260 paket ke Adonara yang berangkat tanggal 7 Mei 2021 dari Ende,”ungkap Bernadus.

Kedua tim menurut Bernadus setibanya di lokasi tujuan langsung diterima mitra Tananua di posko bersama guna melakukan koordinasi lanjutan untuk pendistribusian bantuan karena yang mengetahui situasi riil adalah LSM lokal yang bergabung dalam posko bersama tersebut. Tim Lembata langsung bergabung dengan Posko Barakat untuk melakukan aksi penyaluran bantuan sedangkan tim Adonara didampingi 4 relawan lokal melakukan pendistribusian ke lokasi bencana di sekeliling pulau Adonara.

Hal yang sama juga dituturkan Manajer Office Yayasan Tananua Flores, Hironimus Palla yang turut terlibat langsung dalam pendistribusian dan penyerahan bantuan di Adonara.

Hironimus mengatakan pendistribusian bantuan ke Adonara dibagi lagi dalam dua tim mengingat waktu yang singkat dengan jarak tempuh dari satu lokasi bencana ke lokasi bencana yang lain cukup jauh. Namun dalam waktu 2 hari semua bantuan dapat disalurkan langsung oleh tim relawan YTNF kepada para korban maupun keluarga korban bencana banjir bandang yang ada di seluruh wilayah daratan Adonara.

“Kita gunakan waktu 2 hari ini untuk turun langsung kepada para korban untuk memberikan bantuan ini namun lebih dari itu kita ingin dekat dengan mereka untuk merasakan beban penderitaan yang mereka alami,” tutur Hironimus.

Lebih lanjut Hironimus mengungkapkan kehadiran Tananua di Adonara maupun Lembata bukan saja sekedar memberikan bantuan untuk meringankan beban mereka namun lebih dari itu Tananua hadir untuk turut ambil bagian dalam memberikan penghiburan kepada mereka agar mereka dikuatkan untuk mampu bangkit kembali dari beban penderitaan psikis sebagai akibat dari musibah bencana yang dialaminya.

“Tananua hadir dengan motto Kita Satu Keluarga sehingga kehadiran Tananua disana untuk turut merasakan beban penderitaan yang dialami saudara kita yang ada disana. Penderitaan saudara kita disana adalah penderitaan kita juga karena kita ada dalam satu keluarga,” imbuhnya.

Sementara itu Ketua Posko Keuskupan Agung Ende (KAE), Rm Reginald Piperno Pr dalam kesempatan itu mengatakan kerjasama antara Tananua dan Posko KAE dalam menangani masalah kemanusiaan terutama kebencanaan sudah berlangsung lama sehingga dengan roh dan tekad “Satu Hati Untuk Kemanusiaan” kerjasama ini tetap digalang mengingat musibah bencana itu datang tidak pernah diketahui siapa pun.

Rm Piperno mengungkapkan peran Posko KAE dalam membantu penanganan musibah banjir dalam kerjasama ini adalah melakukan komunikasi dengan Posko Keuskupan Larantuka agar berkoordinasi secara bersama untuk memperoleh data yang akurat tentang situasi terupdate termasuk wilayah dan para korban terdampak bencana agar bantuan yang disalurkan tepat pada sasarannya.

“Meskipun Posko KAE duluan mengantar bantuannya ke sana namun KAE tetap membantu Tananua dalam mendistribusikan bantuannya dengan melakukan komunikasi kepada Posko Keuskupan Larantuka agar tetap berkoordinasi secara bersama dalam membantu penyaluran bantuannya,” ujar pastor Paroki St. Martinus Roworeke ini.

Romo Piperno berharap kerjasama dalam penanganan masalah kemanusiaan ini terus ditingkatkan karena bencana datang kapan dan dimana saja. Tak seorang pun mengetahuinya.***(welano)

 

Sumber : www.jongflores.com

 

Direktur Tananua Flores Sebut Wartawan Sangat Berperan Sebarluaskan Informasi Kepada Publik Read More »

Translate »