Ketika Adat dan Alam Mengetuk Pintu Desa

Ende, Tananua Flores| Di tengah laju perubahan zaman dan tekanan terhadap alam yang kian terasa, sebuah pertemuan empat hari di Ende pada 02-05 Desember 2025 lalu telah memberikan harapan baru. Bertempat di Bina Olangari Ende para mosalaki, pemerintah desa, perempuan, pemuda, dan para pegiat adat berkumpul mengikuti Workshop Penyusunan Peraturan Desa. Mereka datang membawa sebuah persoalan yang sama yakni bagaimana memastikan adat istiadatย  tetap hidup dan Alam terjaga dengan baik di tengah gempuran modernitas.

Yayasan Tananua Flores (YTNF) mungkin hanya menyebutnya sebagai pelatihan teknis. Namun bagi para peserta, inilah ruang penyadaran kolektifโ€”ruang yang mengembalikan ingatan tentang siapa mereka dan apa yang harus mereka jaga.

Pada hari pertama, para mosalaki membuka ruang dengan cerita-cerita yang mengandung pesan mendalam. Ritual adat yang kian jarang, generasi muda yang makin jauh dari akar budaya, hutan dan mata air yang perlahan hilang dari kehidupan desa.

Salah satu mosalaki berkata pelan namun tegas:

โ€œKami menjaga tanah ini bukan untuk kami sendiri, tetapi untuk mereka yang belum lahir.โ€

Kalimat itu menjadi pengingat keras bahwa desa bukan hanya ruang geografisโ€”ia adalah warisan moral.

Kolaborasi yang Nyaris Hilang, Kini Menemukan Bentuknya

Ketika pemerintah desa dan BPD ikut bergabung pada hari kedua, suhu diskusi berubah. Bukan lagi sekadar laporan kekeringan atau hama, tetapi kesadaran bahwa persoalan desa tidak bisa diselesaikan sendirian.

Ada desa yang menawarkan benih lokal untuk desa lain. Ada pemuda yang ingin mempelajari kembali adat. BPD menyatakan dukungan untuk Perdes berbasis kearifan lokal.

Kolaborasi yang dulu terasa sebagai wacana kosong, kini mulai menunjukkan wujudnya.

Materi teknis pada hari ketiga justru menjadi titik balik. Peserta disadarkan bahwa aturan desa bukan soal pasal, ayat, atau sanksi semata. Aturan adalah bentuk cinta dan tanggung jawab terhadap desa.

Tanpa Perdes yang kuat, mata air dapat hilang dalam satu keputusan sepihak, hutan dapat rusak dalam satu musim. Desa membutuhkan pagar yang disepakati bersama.

Menulis Perdes, Menulis Masa Depan

Hari keempat memperlihatkan bahwa peserta bukan hanya mampu memahami, tetapi juga dapat merumuskan aturan mereka sendiri. Pasal demi pasal lahir dari diskusi panjang, tawa, perdebatan kecil, dan semangat yang tak bisa dipalsukan.

Mereka menulis Perdes, tetapi sebenarnya mereka sedang menulis ulang masa depan desa.

Dalam sesi penutupan, seorang perwakilan perempuan berkata lirih namun mantap:

โ€œKami ingin anak-anak kami tumbuh dengan adat yang kuat dan alam yang sehat.โ€

Pernyataan ini bukan sekadar harapan, melainkan tekad kolektif bahwa desa harus kembali menjadi ruang hidup yang melindungi warganyaโ€”bukan sekadar wilayah administratif.

YTNF menutup kegiatan dengan komitmen untuk mendampingi desa hingga Perdes benar-benar lahir dan diterapkan.

Empat hari pelatihan memang singkat, tetapi jejaknya panjang. Peserta pulang membawa bukan hanya rancangan Perdes, tetapi kesadaran baru bahwa adat dan alam bukan beban masa lalu, melainkan cahaya yang menuntun masa depan.

Jika desa-desa di Ende mampu merawat kerja bersama ini, maka hutan, mata air, dan pangan lokal bukan hanya cerita nostalgiaโ€”mereka akan tetap hidup sebagai sumber kehidupan generasi mendatang.***

Kontributor: Herman N Lion

 


Eksplorasi konten lain dari Tananua Flores

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Translate ยป

Eksplorasi konten lain dari Tananua Flores

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca