Kemitraan World Neighbors Dan KLHK-RIDalam Penguatan Adaptasi Perubahan Iklim di Nusa Tenggara

Denpasaar, Tananua Flores| World Neighbors (WN) adalah lembaga internasional non-pemerintah yang berdiri pada tahun 1951 di Oklahoma City, Amerika Serikat. Sebagai organisasi non-sektarian, non-politik, dan nirlaba, WN berkomitmen memperkuat kapasitas masyarakat marginal di wilayah perdesaan. Melalui pendekatan pemberdayaan, WN mendorong terciptanya solusi inovatif dan berkelanjutan untuk mengatasi berbagai persoalan mendasar, seperti kemiskinan, kelaparan, degradasi sumber daya alam, serta meningkatnya kerentanan lingkungan. Fokus utama program WN meliputi peningkatan kapasitas lokal, penguatan kelembagaan masyarakat, dan penerapan praktik adaptasi serta mitigasi perubahan iklim.

1. Kerja Sama WN dan KLHK-RI

Kemitraan antara World Neighbors dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK-RI) berlangsung dalam dua periode:

  1. April 2015 – April 2018
  2. November 2018 – November 2021

Pada periode kedua, melalui Memorandum Saling Pengertian (MSP), ditetapkan program berjudul:

“Program Terpadu Pengarusutamaan Adaptasi Perubahan Iklim untuk Menurunkan Kerentanan Masyarakat Perdesaan di Wilayah Nusa Tenggara.”

Program ini bertujuan untuk:

  1. Menurunkan kerentanan masyarakat perdesaan.
  2. Meningkatkan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam.
  3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Ketiga tujuan tersebut selaras dengan RPJMN 2020–2024, Rencana Strategis KLHK 2020–2024, serta komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

2. Peran BPPI dan Kolaborasi Daerah

Keberadaan Balai Pengendalian Perubahan Iklim (BPPI) sebagai UPT KLHK di Lombok yang bekerja sama erat dengan DLHK Provinsi memberikan kontribusi besar bagi penguatan Program Kampung Iklim (ProKlim) di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Kolaborasi tersebut diwujudkan melalui:

  • Pendampingan intensif bersama DLH kabupaten dan mitra WN,
  • Kunjungan lapangan rutin untuk memberikan motivasi, bimbingan teknis, dan dukungan moral,
  • Penguatan kapasitas kampung-kampung ProKlim menuju kategori ProKlim Lestari.

Pembelajaran penting dari kolaborasi ini menunjukkan bahwa keberhasilan ProKlim tidak hanya bergantung pada kebijakan dan anggaran, tetapi juga pada:

  • Konsistensi pendampingan lapangan,
  • Kolaborasi antar-lembaga di berbagai tingkatan,
  • Partisipasi aktif masyarakat.

Model kerja sama ini dapat direplikasi sebagai praktik baik di wilayah lainnya.

3. Penguatan Kapasitas Lokal melalui Pelatihan PI dan PRB

Pelatihan mengenai Perubahan Iklim (PI) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang diberikan kepada pemerintah desa, lembaga desa, serta unsur masyarakat terbukti meningkatkan pengetahuan dan kesadaran lokal dalam menghadapi risiko iklim. Pelatihan ini menjadi fondasi penting bagi pengembangan perencanaan adaptasi berbasis komunitas.

4. Dampak El Niño 2023 terhadap Ketahanan Masyarakat

Fenomena El Niño 2023 memberikan dampak signifikan di wilayah Nusa Tenggara, antara lain:

  • Krisis dan kelangkaan air bersih,
  • Penurunan ketersediaan pangan,
  • Kematian tanaman umur panjang,
  • Kebakaran lahan dan hutan (terutama di Sumba Timur),
  • Terancamnya ketahanan pangan dan mata pencaharian masyarakat.

Dampak ini menegaskan lemahnya daya adaptasi ekosistem lokal dan semakin menguatkan urgensi intervensi lintas sektor untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.


5. Serangan Hama Belalang dan Kerentanan Ganda

Serangan hama belalang di Sumba Timur semakin memperburuk kondisi masyarakat. Kerusakan tanaman pangan dan kegagalan panen diperparah oleh kemarau panjang, sehingga:

  • Stok pangan rumah tangga menurun drastis,
  • Pendapatan petani melemah,
  • Terjadi kerentanan ganda terhadap pangan dan ekonomi.

Menghadapi situasi ini diperlukan langkah-langkah strategis, seperti:

  • Pengendalian hama terpadu,
  • Penguatan cadangan pangan lokal,
  • Peningkatan kapasitas perencanaan adaptasi iklim berbasis komunitas.

Kemitraan World Neighbors Dan KLHK-RIDalam Penguatan Adaptasi Perubahan Iklim di Nusa Tenggara Read More »

Menanam Harapan, Menuai Perubahan

Sukses ProKlim dari Pratama ke Nominasi Utama

Oleh: Arnoldus Rada Mage (YTN F, Ende, NTT)

Ende, Tananua | Di Desa Ja Mokeasa, Kecamatan Ende, kehidupan masyarakat selama bertahun-tahun bergantung pada hasil pertanian. Namun, perubahan iklim yang tak menentu kini menjadi tantangan besar. Musim hujan datang terlambat, kemarau terasa lebih panjang, dan hasil panen pun sering gagal. Bagi para petani di desa ini, ketidakpastian musim berarti ketidakpastian hidup.

“Sekarang kami tidak bisa lagi menebak kapan waktu tanam yang tepat,” ujar Fidelis Setu, salah satu tokoh masyarakat sekaligus anggota kelompok ProKlim Sama Se. “Kadang kami sudah menanam, tapi hujan tidak turun. Akhirnya, banyak yang gagal panen dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.”

Kondisi inilah yang menjadi titik balik bagi masyarakat Ja Mokeasa. Tahun 2022 menjadi awal perubahan ketika Yayasan Tananua Flores (YTN F) hadir memberikan pendampingan dengan dukungan dari World Neighbors (WN) yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI). Melalui proses dialog dan pendampingan intensif, masyarakat mulai menyadari bahwa menjaga lingkungan berarti juga menjaga masa depan mereka sendiri.

Dari proses belajar bersama itu, lahirlah Kelompok ProKlim Sama Se — simbol semangat baru warga Ja Mokeasa untuk menanam harapan dan menata masa depan. Kelompok ini resmi dibentuk dan disahkan melalui Surat Keputusan Kepala Desa Ja Mokeasa pada 1 Maret 2023. Terdiri dari 45 anggota (21 laki-laki dan 24 perempuan), mereka berkomitmen untuk menerapkan praktik pertanian cerdas iklim, konservasi sumber daya alam, serta pengelolaan sampah dan energi yang berkelanjutan.

Desa Ja Mokeasa sendiri terletak di ketinggian 727 meter di atas permukaan laut dengan topografi pegunungan dan perbukitan yang subur. Komoditas utama desa ini meliputi kemiri, kakao, cengkeh, tanaman pangan, serta hortikultura. Namun, perubahan pola cuaca membuat banyak lahan tidur dan hasil pertanian menurun drastis.

“Melalui ProKlim, kami belajar tentang pertanian organik, cara mengelola air, dan bagaimana menanam tanpa merusak lingkungan,” kata Fidelis. “Kami juga menanam pohon dan membuat pupuk organik agar tanah tetap subur.”

Dari Tanah Gersang Menjadi Ruang Harapan

Tahun 2025 menjadi momentum penting. Program adaptasi dan mitigasi yang digerakkan kelompok Sama Se mulai menunjukkan hasil nyata. Sebanyak 1.085 pohon sengon, jati putih, mahoni, munti, dan merbau ditanam di dua lokasi konservasi sumber mata air — Mereseke dan Aenabe — dengan luas total 2 hektare. Areal konservasi ini juga dilindungi dengan pagar keliling agar tetap terjaga dari gangguan ternak dan aktivitas manusia.

Selain itu, sebanyak 19 petani aktif mengembangkan tanaman pangan lokal seperti padi, jagung, dan talas di lahan seluas 0,32 hektare. Program sosialisasi mengenai penghematan air, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) berhasil menjangkau 65 rumah tangga.

Di bidang mitigasi, 65 rumah tangga kini mengelola sampah mulai dari sumbernya. Sebanyak 20 rumah tangga menggunakan tungku hemat kayu bakar, sementara para anggota kelompok membuat pupuk organik dan membuka lahan tanpa membakar.

Di lahan seluas 0,14 hektare, 13 petani mulai mengembangkan model agroforestry yang menggabungkan tanaman pangan dan pohon buah seperti durian, lengkap dengan rorak dan terasering untuk menahan air hujan.

Kolaborasi yang Menggerakkan

Perubahan besar ini tidak datang seketika. Semua berawal dari kerja bersama antara masyarakat, pemerintah desa, dan pendamping lapangan dari YTN Flores.

“Dulu, kami merasa perubahan iklim itu di luar kendali kami,” tutur Fidelis pelan. “Sekarang kami tahu, kami bisa ikut berperan — dengan menanam pohon, menjaga air, dan bertani dengan cara yang ramah alam.”

Desa Ja Mokeasa kini memiliki dua kelompok aktif, yakni Sama Se dan Sinar Timur. Kedua kelompok ini berjalan beriringan, saling belajar, dan saling menguatkan. Dari keterlibatan warga hingga penataan administrasi kelompok, semua dilakukan dengan semangat gotong royong dan rasa memiliki.

Kerja keras ini akhirnya mendapat pengakuan. Pada pertengahan tahun 2025, Desa Ja Mokeasa berhasil melangkah dari kategori Pratama ke Nominasi Utama dalam Program Kampung Iklim (ProKlim) yang diselenggarakan oleh KLHK RI.

Penghargaan itu bukan hanya simbol keberhasilan, tetapi juga bukti nyata bahwa perubahan bisa tumbuh dari desa kecil di lereng pegunungan.

“Kami bangga,” ujar Fidelis tersenyum. “Karena kini kami tahu, menjaga alam bukan sekadar tugas, tapi bagian dari iman dan harapan kami untuk anak cucu.”

Cerita Ja Mokeasa mengajarkan bahwa perubahan tidak lahir dari proyek besar, melainkan dari tangan-tangan kecil yang bekerja dengan hati. Di ladang, di sumber air, di dapur, dan di setiap rumah, warga belajar bahwa alam yang lestari adalah warisan terbaik yang bisa mereka tinggalkan.

Dari desa kecil di Ende ini, semangat ProKlim terus tumbuh — menanam harapan, dan menuai perubahan.

Menanam Harapan, Menuai Perubahan Read More »

Mata Kail Untuk Perubahan: Kisah Kelompok Proklim dan Harapan dari Pihak Swasta-Komisi PSE

Oleh : Maria Sisilia Virginia Wawo (YTN F, Ende, NTT)

Kadang, kesuksesan tidak hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang perjalanan dan hubungan yang terjalin di dalamnya. Ini adalah kisah perjumpaan antara kegigihan akar rumput dan sebuah filosofi yang bijak: “Kami tidak memberikan ikan, kami hanya memberikan mata kail”. Pertemuan antara Kelompok ProKlim dan Komisi PSE Keuskupan Agung Ende adalah kisah tentang kesiapan dan harapan besar bahwa dukungan kecil akan menumbuhkan perubahan ekologis yang berkelanjutan.” Pertemuan ini terwujud berkat dampingan dan fasilitasi Yayasan Tananua Flores (YTN F) yang mendampingi ke 6 Kelompok ProKlim di Kabupaten Ende dengan dukungan dari World Neighbors (WN) yang bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI)

Awal Sebuah Perjumpaan

Pertemuan antara Kelompok ProKlim (Program Kampung Iklim) dan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Ende (PSE KAE) menjadi simbol bagaimana kolaborasi kecil dapat menumbuhkan harapan besar bagi perubahan ekologis yang berkelanjutan.
Inisiatif ini lahir dari dampingan Yayasan Tananua Flores (YTNF) dengan dukungan World Neighbors (WN) yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI). Melalui program ini, enam kelompok ProKlim di Kabupaten Ende diarahkan untuk bergerak bersama menghadapi tantangan perubahan iklim.

Mereka bukan orang baru dalam perjuangan merawat bumi. Mereka adalah petani, penjaga tanah dan air yang setiap harinya berhadapan langsung dengan dampak perubahan iklim. Kini, semangat mereka meluas: tidak hanya menanam dan memanen, tapi juga menulis, merancang, dan mengelola perubahan.

Keenam kelompok ProKlim binaan YTNF yang dimaksud adalah:

  • ProKlim Kwasma – Desa Wolomage (42 anggota)
  • ProKlim Daubugu – Desa Wolomage (53 anggota)
  • ProKlim Kompak – Desa Wolotolo (46 anggota)
  • ProKlim Sama Se – Desa Ja Mokeasa (45 anggota)
  • ProKlim Sama Rasa – Desa Wologai Dua (58 anggota)
  • ProKlim Sinar Seko – Desa Wologai (51 anggota)

Seluruh kelompok ini telah mendapatkan SK Kepala Desa. Bersama-sama, mereka memutuskan untuk menyusun proposal bantuan yang diajukan ke Komisi PSE KAE serta beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende.

Tujuan mereka sederhana: ingin mengembangkan usaha pertanian organik, pengelolaan sampah, dan pengolahan kopi pasca panen, demi keberlanjutan ekonomi sekaligus menjaga lingkungan.
Rincian anggaran tiap kelompok pun berbeda, mulai dari Rp 14 juta hingga Rp 23 juta, tergantung kebutuhan program yang diajukan.

Perjalanan Tidak Selalu Mulus

Menulis proposal bukan hal mudah bagi para petani. Di sela-sela rutinitas mengurus kebun dan keluarga, mereka harus belajar menulis, menyusun rencana, dan menghitung biaya.

“Saya belum pernah menulis proposal sebelumnya. Awalnya gugup dan bingung mau mulai dari mana,”
kata Basilius Tiara, salah satu anggota kelompok.
“Tapi saya bersyukur bisa belajar. Ini pengalaman berharga.”

Proses ini menjadi ruang belajar yang penuh tantangan. Tim YTNF dengan sabar mendampingi setiap langkah — dari menggali ide, menyusun kalimat, hingga memfinalisasi proposal. Setelah melalui revisi demi revisi dan berbagai kendala seperti kesibukan dan situasi keluarga, akhirnya proposal berhasil diserahkan ke meja Komisi PSE KAE dan instansi pemerintah daerah.

Dari Kantor ke Hati: Sambutan Hangat dari Gereja

Hari itu, senyum lelah berubah menjadi semangat baru ketika perwakilan kelompok diterima langsung oleh RD. Renald, Ketua Komisi PSE KAE.
Romo Renald menyambut mereka dengan tangan terbuka. Ia membaca dan mengoreksi proposal satu per satu bersama timnya, sambil memberikan masukan dengan penuh kesabaran.

“Proposal ini sejalan dengan visi kami tahun ini — Hak atas pangan untuk kehidupan dan masa depan yang lebih baik,” ujar Romo Renald.
Ia menegaskan bahwa bantuan PSE bukan untuk membuat kelompok bergantung, tetapi mendorong kemandirian dan keberlanjutan.
“Kami tidak memberikan ikan, kami memberikan mata kail. Kelompok harus belajar mengelola sumber daya sendiri. Keberlanjutan adalah kunci,” tambahnya.

Bagi para petani, ucapan itu bukan hanya nasihat, tapi pengakuan atas kerja keras mereka. Mereka merasa dilihat, didengar, dan diberi harapan.

Mengetuk Banyak Pintu

Tak berhenti di Komisi PSE, kelompok ProKlim juga menjalin komunikasi dengan berbagai dinas di Kabupaten Ende. Meski sebagian besar menyampaikan keterbatasan anggaran akibat kebijakan efisiensi dari pusat, sikap terbuka dan transparan dari instansi pemerintah menjadi bentuk dukungan moral yang berarti.

Kini, mereka menantikan hasil sidang Komisi PSE KAE pada November 2025. Namun bagi kelompok, keputusan akhir bukan lagi segalanya. Mereka sudah memperoleh sesuatu yang jauh lebih berharga — keberanian, pengetahuan, dan keyakinan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil.

Perjalanan kelompok ProKlim ini membuktikan bahwa perubahan tidak datang dari bantuan besar, melainkan dari semangat belajar dan kolaborasi. Dari desa-desa kecil di Ende, lahir kisah besar tentang harapan dan ketekunan.

Kini, “mata kail” itu sudah mereka genggam.
Dan di tangan para petani itu, masa depan bumi dan pangan lokal pelan-pelan mulai dijaring — dengan doa, kerja keras, dan keyakinan bahwa setiap tetes keringat akan tumbuh menjadi buah perubahan.

Kunjungi Artikel Kami

Mata Kail Untuk Perubahan: Kisah Kelompok Proklim dan Harapan dari Pihak Swasta-Komisi PSE Read More »

Pengembangan Usaha Mikro Sebagai Upaya Adaptasi Perubahan Iklim

Oleh: Arnoldus Rada Mage (YTNF, Ende, NTT)

Ende, Tananua Flores | Di Desa Ja Mokeasa, Kabupaten Ende, denyut kehidupan petani berpacu dengan perubahan musim yang tak menentu. Langit yang dulu dapat dibaca dengan kearifan lama, kini kerap berubah arah. Namun, dari tanah pegunungan yang subur itu, tumbuh pula semangat baru — semangat inovasi dan daya tahan yang lahir dari kebersamaan, cinta tanah, serta bimbingan Yayasan Tananua Flores (YTNF) dengan dukungan World Neighbors (WN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI).

Di tengah tantangan iklim yang mengguncang, para perempuan desa bangkit dengan tangan mereka sendiri, menanam harapan dalam setiap rumpun sayur, dan memupuk keteguhan hati melalui usaha mikro hortikultura yang ramah lingkungan. Kisah Mama Thresia Ima dan kelompok UBSP menjadi saksi bahwa adaptasi bukan sekadar bertahan, tetapi juga berinovasi. Dengan pupuk organik, pestisida nabati, dan kerja kolektif yang berakar dari kearifan lokal, mereka menumbuhkan ketahanan pangan, memperkuat ekonomi keluarga, dan menyalakan obor inspirasi bagi seluruh komunitas desa.

Kondisi awal lahan kelompok  sebelum ada intervensi dari pendamping YTN F

Jejak Desa di Lereng Bukit

Desa Ja Mokeasa lahir dari rahim Desa Mbotutenda pada tahun 1997 dan menjadi desa definitif pada 15 Oktober 2012. Dari Kota Ende, jaraknya sekitar 28 kilometer, ditempuh dalam satu jam perjalanan melewati jalan berkelok yang menanjak dan menurun. Desa ini berada di ketinggian 727 meter di atas permukaan laut, dikelilingi pegunungan, bukit, dan dataran rendah yang subur — tanah yang cocok bagi segala jenis tanaman, terutama hortikultura.

Namun, perubahan iklim membuat para petani seolah kehilangan kompas. Hujan turun tak menentu, matahari menyengat di waktu yang tak biasa. Dari kegelisahan itu, tumbuh kesadaran baru: bahwa alam tidak bisa dilawan, tetapi bisa diajak berdamai. Petani belajar membaca tanda-tanda, menyesuaikan waktu tanam, dan memilih jenis tanaman yang sesuai dengan perubahan cuaca.

Pendampingan yang Menumbuhkan Harapan

Program pendampingan dari Yayasan Tananua Flores bersama World Neighbors dan KLHK RI menumbuhkan daya tahan baru di enam desa sasaran. Di Ja Mokeasa, terbentuklah Kelompok UBSP pada 1 Maret 2023, beranggotakan 21 orang — satu laki-laki dan dua puluh perempuan. Modal awal kelompok sebesar Rp 4.615.000, hasil dari simpanan pokok, wajib, dan sukarela anggota. Dana ini diputar kembali untuk usaha mikro dan kebutuhan keluarga, terutama untuk pengembangan kebun sayur.

Desa di ketinggian ini memang anugerah bagi pertanian. Dari lahan yang sejuk itu tumbuh terung, buncis, sawi, kangkung, dan cabai. Dalam satu musim tanam yang singkat, hasil panen bisa mendatangkan keuntungan hingga setengah juta rupiah, dan untuk tanaman tahunan seperti cabai dan terung, bisa mencapai satu juta rupiah. Sebagian hasil dijual, sebagian lagi dibagikan dan dikonsumsi bersama tetangga — menanam bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk berbagi.

Perempuan-perempuan Penanam Harapan

Dua nama mencuat dari kelompok UBSP: Mama Thresia Ima (Mama Tres) dan Mama Yasinta Leta (Mama Ayu). Mereka bukan sekadar petani, melainkan penabur semangat bagi yang lain. Mama Tres memandang perubahan iklim bukan sebagai ancaman, tetapi tantangan untuk berinovasi. Ia mengolah sisa tanaman dan kotoran ternak menjadi pupuk organik, meramu daun pepaya dan daun kerinyu menjadi pestisida alami. Dari kebun kecilnya, tumbuh sayuran subur yang tak hanya memberi hasil, tapi juga menjaga keseimbangan bumi.

“Dulu kami belajar dari alam, kini kami kembali berdamai dengannya,” tutur Mama Tres.
Usahanya membuahkan hasil nyata. Dari lahan yang sederhana, ia meraih pendapatan hingga Rp 3.600.000 per musim tanam. Sawi, kangkung, dan buncisnya laku di Pasar Wolowona dan desa tetangga, Raburia. Hasil panen bukan hanya untuk dijual, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, agar meja makan selalu terisi sayuran sehat tanpa bahan kimia.

Pupuk dari Alam, Panen dari Hati

Bagi Mama Tres, pupuk bukanlah benda yang dibeli, melainkan hasil dari kreativitas. Ia mencampur dedaunan dan air beras, memfermentasikannya tiga hari hingga berubah menjadi cairan subur. Ia percaya, kesuburan tanah adalah kesuburan kehidupan. Dengan alat seadanya, ia menyiapkan bedengan, menggemburkan tanah, dan menanam benih dengan penuh cinta.

“Tanah harus kita rawat seperti tubuh kita sendiri,” katanya lembut sambil tersenyum.

Dari kebun itu pula, Mama Tres membiayai kebutuhan keluarga. Ia bahkan menyiapkan acara sambut baru anaknya tanpa harus berutang, hasil dari panen sayur yang ia kelola sendiri. Dari sawi dan kangkung ia peroleh Rp 1.500.000, dari terung Rp 2.500.000, dan dari buncis Rp 1.200.000. “Itu hasil nyata,” ujarnya bangga, “meski sering saya beri bonus bagi yang membeli langsung di kebun.”

Menanam untuk Desa, Bukan Sekadar untuk Diri

Walau tidak semua anggota mampu menjalankan usaha bersama karena kesibukan rumah tangga dan lahan pribadi, semangat individu tetap menyala. Beberapa warga mulai membuka kios sembako dan usaha kecil lainnya. Dari langkah-langkah kecil itu, tumbuh kemandirian baru di tengah perubahan besar.

Mama Tres menutup kisahnya dengan pesan yang sederhana namun dalam maknanya:

“Saya berharap, kita para petani tidak lagi membeli sayur, tapi memproduksinya sendiri. Jangan pikir harus banyak, mulai saja dari yang kecil. Jangan dulu bermimpi menjual ke luar desa — penuhi dulu kebutuhan di dalam desa kita. Bila tanah kita subur, orang luar akan datang mencari hasil dari desa ini.”

Kisah Desa Ja Mokeasa adalah kisah keteguhan dan pembelajaran. Di tengah ketidakpastian iklim, tumbuh kepastian lain: bahwa manusia mampu beradaptasi bila ia mau belajar, berkolaborasi, dan mencintai alamnya. Dari kebun kecil di lereng bukit, lahir harapan besar untuk masa depan yang lestari.

Kunjungi Artikel kami

Pengembangan Usaha Mikro Sebagai Upaya Adaptasi Perubahan Iklim Read More »

Panen Perdana Padi Sawah Hasil Kajian Partisipatif di Desa Mautenda Barat Disambut Positif Pemerintah

Ende,Mautenda Barat, Tananua Flores | 21 Oktober 2025 ,- Kegiatan panen perdana padi sawah hasil kajian partisipatif yang dilakukan oleh Kelompok Tani Sa Ate Desa Mautenda Barat mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Kegiatan ini difasilitasi oleh Yayasan Tananua Flores, Universitas Flores (Uniflor), dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), serta dihadiri oleh Dinas Pertanian Kabupaten Ende, Pemerintah Kecamatan Wewaria, Pemerintah Desa Mautenda Barat, dan Pastor Kuasi Paroki Tanali.

Panen perdana ini dilaksanakan di lahan-lahan sawah petani setempat dan menjadi hasil nyata dari proses pembelajaran bersama yang menekankan pada penggunaan pupuk organik lokal serta metode pertanian berkelanjutan.

Apresiasi Dinas Pertanian

Dalam sambutannya, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Ende, H. Ibrahim Hadir Dean menyampaikan apresiasi tinggi terhadap proses kajian yang dilakukan masyarakat bersama lembaga akademik dan pendamping lapangan.

“Saya sangat tertarik dengan kajian partisipatif ini. Proses seperti ini penting untuk mendorong Desa Mautenda Barat memiliki satu produk unggulan, yakni padi organik. Namun, perlu diingat bahwa menjadi benar-benar organik membutuhkan waktu, kesabaran, dan komitmen untuk meninggalkan pupuk kimia sepenuhnya,” tegasnya

Beliau menambahkan, Pemerintah Kabupaten Ende mendukung penuh upaya ini dan berharap agar proses kajian terus berlanjut hingga petani benar-benar mampu menghasilkan padi organik bersertifikat.

“Kita bukan hanya menanam padi, tetapi juga menanam masa depan yang lebih sehat bagi tanah, alam, dan manusia,” ujarnya.

Dukungan Pemerintah Kecamatan

Sementara itu, Camat Wewaria, Fidelis Bela, S.Sos., turut memberikan apresiasi kepada Dinas Pertanian, Yayasan Tananua Flores, dan Universitas Flores atas pendampingan aktif kepada masyarakat.

“Mautenda Barat dikenal sebagai daerah pertanian yang potensial. Kini saatnya potensi itu diolah dengan cara yang berkelanjutan. Ini adalah titik balik bagi Wewaria. Kami mendorong agar pendampingan seperti ini tidak hanya menyentuh satu desa, tetapi juga menjangkau wilayah lain sesuai potensi lokal,” ungkapnya.

Kontribusi Akademik Universitas Flores

Dari pihak akademisi, Ketua Program Studi Agroteknologi Universitas Flores Josina I.B.Hutubessy menjelaskan bahwa pihaknya melakukan analisis terhadap kandungan pupuk organik yang digunakan serta memantau variabel pertumbuhan tanaman selama tiga bulan.

“Kami sudah melihat hasilnya dan akan melanjutkan penanaman tahap kedua. Analisis unsur hara akan terus kami lakukan agar data yang diperoleh dapat menjadi bukti ilmiah bahwa produk ini benar-benar organik,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa tujuan utama dari kajian ini bukan hanya edukasi bagi masyarakat, tetapi juga menghasilkan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Tidak cukup hanya mengatakan produk kita organik. Harus ada bukti dari hasil kajian. Karena itu, mahasiswa kami dilibatkan untuk memantau proses pertumbuhan tanaman setiap dua minggu sekali,” tambahnya.

Refleksi Pastoral dan Dorongan Perubahan

RD. Yohanes Risantos Rengu (Romo Safan), Pastor Kuasi Paroki Tanali, turut memberikan refleksi pastoral yang menyentuh. Ia menilai, perubahan pola pikir petani merupakan tantangan besar dalam membangun pertanian berkelanjutan.

“Kebanyakan petani menyerahkan 90% hasil pada Tuhan dan hanya 10% pada usahanya sendiri. Karena itu, perubahan mental dan kebiasaan butuh waktu. Petani sering hanya tahu menanam, tetapi belum mampu merawat tanah dengan baik,” ujarnya.

Romo menekankan bahwa penggunaan bahan kimia yang berlebihan telah “memaksa” tanah untuk terus memberi hasil tanpa pemulihan. Ia mendorong agar masyarakat mulai membuka diri terhadap pengetahuan dan teknologi baru, termasuk melalui kajian seperti ini.

“Sebagai pastor, saya tidak hanya ingin memimpin dari mimbar, tetapi juga turun langsung melihat kondisi petani. Kami akan bekerja sama dengan pengurus DPP, stasi, dan KUB untuk memperhatikan pola kerja petani yang masih perlu diperbarui,” tambahnya.

Suara dari Kelompok Tani

Ketua Kelompok Tani Sa Ate Fransiskus Seda menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas pendampingan dari berbagai pihak selama proses kajian ini.

“Kami menjalankan semua proses sesuai petunjuk pendamping. Kami berharap kerja sama ini terus berlanjut dan kami siap melanjutkan pada tahap-tahap berikutnya,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa kegiatan ini menjadi pengalaman baru bagi petani Mautenda Barat dalam mengenal proses kajian pupuk organik, dan mereka berkomitmen untuk terus belajar serta meningkatkan produksi padi sawah secara berkelanjutan.

Kegiatan panen perdana ini bukan hanya menjadi simbol keberhasilan petani Desa Mautenda Barat, tetapi juga bukti bahwa pendekatan kajian partisipatif mampu menghubungkan masyarakat, akademisi, dan pemerintah dalam satu visi: membangun pertanian berkelanjutan yang sehat bagi manusia dan alam.***

Ditulis oleh : J.Mari

Panen Perdana Padi Sawah Hasil Kajian Partisipatif di Desa Mautenda Barat Disambut Positif Pemerintah Read More »

Translate »